Adab di atas Ilmu: Belajar dari Kisah Viral Penjual Es Teh

Bagikan :
Sumber Gambar: https://www.instagram.com/p/DDJOA_hhDre/?igsh=cHRxYnMya21scG8z

Viral video penjual es teh di media sosial yang memperlihatkan oknum tokoh agama yang mempermalukan dirinya di depan umum, sontak menuai ragam komentar netizen se-Indonesia. Diketahui ia melempar guyonan tersebut saat berceramah dan disambut gelak tawa oleh jamaah yang hadir saat itu.

Namun saat sorot kamera dialihkan ke penjual es teh tersebut, terlihat perubahan ekspresi wajah bapak tersebut. Raut sedih, menahan malu bercampur kecewa yang bisa ia lepaskan dengan helaan napas. Beban apa yang ada di pundaknya, tidak ada yang bisa menduga. Padahal mungkin ia ingin mencari nafkah yang merupakan tugas utama sebagai kepala rumah tangga, sekaligus tidak ingin hilang kesempatan ikut pengajian.

Sebuah fakta yang mencengangkan bahwa hal tersebut dianggap lelucon, mirisnya hampir semua yang hadir tertawa terpingkal-pingkal. Aneh memang, tapi nyata adanya. Karena aksinya, ramai netizen melakukan protes mulai dari video pendek, postingan gambar dari berbagai kalangan seperti influencer, artis, tokoh agama, dan sebagainya.

Bahkan setelah video ini viral, banyak yang bertanya identitas bapak penjual es teh tersebut untuk diberikan hadiah berupa umrah, beasiswa untuk anak-anaknya, dan beragam apresiasi lainnya. Namun di sisi lain, oknum tokoh agama tersebut mungkin melontarkan kata tersebut dimaksudkan untuk bercanda. Sehingga ada yang pro dan kontra dengan kejadian ini.

Belajar dari peristiwa ini banyak sekali hikmah yang bisa kita tuai. Betapa mudahnya Allah mengangkat derajat seseorang maupun menjatuhkannya. Nikmat kebaikan adalah ujian, bagaimana respon kita saat mendapatkannya, bersyukurkah atau kufur? Seringkali manusia diuji dengan popularitas, harta, dan semacamnya. Keburukan yang menimpa juga sebuah ujian untuk mengukur kesabaran dan prasangka baik manusia.

Hidup adalah panggung sandiwara, ada pelakon dan sutradara. Ada yang berkarakter protagonis, ada pula antagonis, tentu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah memang ada karakter yang disetting menjadi wasilah mendatangkan kebaikan atau keburukan.

Allah menyebutkan bahwa keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Semua kembali pada respon manusia, tetap berprasangka baik atau justru menyalahkan keadaan. Selain itu, Allah memerintahkan manusia untuk memelihara diri dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim saja (QS. Al-Anfal: 25), karena Allah Mahakuasa berbuat apa yang Dia kehendaki (QS. Al-Buruj: 16).

Kisah ini mengajarkan kita bahwa menjaga lisan dan hati-hati bersikap itu berimplikasi besar bagi kehidupan. Amat mulia ajaran Allah dan Rasul-Nya, sudah tertuang jelas dalam Al-Qur’an dan hadits. Bahkan beriman kepada Allah dan hari akhir serta anjurannya untuk berkata baik atau diam disejajarkan kedudukannya dalam sabda Rasulullah Saw. Ini menunjukkan sama pentingnya antara ucapan yang bermanfaat, atau jika tidak mampu lebih baik diam.

Adab di atas ilmu, kiranya kalimat inilah yang tepat menggambarkan kejadian ini. Menghargai orang lain tidak akan pernah ada ruginya, hati-hati menganggap orang lain lebih rendah. Siapa tahu doanya lebih mustajab menggetarkan arasy Allah atau ia punya amalan rahasia yang hanya ia dan rabb-Nya saja mengetahui. Penampilan luar sungguh benar menipu, tidak ada yang pernah tahu.

Allah berfirman di QS. Al-Hujurat ayat 13 “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang bertakwa,” Allah menutup dengan kalimat pamungkas “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” Kata Mahateliti, yang tentunya tidak akan pernah sama dengan telitinya manusia yang banyak khilaf dan alpanya. Karena sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kita, tetapi Dia melihat hati dan amal kita.

Berita Populer