Thaif, Kota dalam Sejarah Islam yang Menjadi Saksi Ketabahan Nabi Muhammad SAW

Bagikan :
Masjid Addas di Thaif (Foto.Net)

masjidkapalmunzalan.id – Setelah wafatnya dua orang terdekat, yakni istri tercinta Khadijah binti Khuwailid dan paman sekaligus pelindungnya, Abu Thalib, Nabi Muhammad SAW menghadapi masa-masa paling sulit dalam perjalanan dakwahnya. Tanpa pelindung dari tekanan kaum Quraisy di Makkah, beliau mengalami penolakan, intimidasi, bahkan kekerasan fisik. Kota Thaif menjadi saksi bisu dari salah satu ujian terberat dalam dakwah Rasulullah.

Mengapa Rasulullah Pergi ke Thaif?

Mengutip Sirah Nabawiyah karya Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, Rasulullah SAW pergi ke Thaif dengan tujuan utama berdakwah dan mencari perlindungan dari suku Tsaqif, agar dakwah Islam bisa tetap berjalan di tengah tekanan kaum Quraisy. Kota Thaif sendiri dikenal sebagai tempat yang makmur dan dikelilingi oleh pagar atau tembok tinggi, dihuni oleh para bangsawan dan tokoh-tokoh berpengaruh.

Dalam perjalanan tersebut, Rasulullah SAW ditemani oleh anak angkatnya, Zaid bin Haritsah RA.

Sesampainya di Thaif, Rasulullah SAW menemui tiga tokoh utama Bani Tsaqif—Mas’ud, Abdu Yalail, dan Habib—untuk mengajak mereka memeluk Islam. Namun, bukan hanya ditolak, Rasulullah bahkan dihina dan disakiti.

Para pemuka Thaif menghasut budak dan orang-orang bodoh untuk meneriaki dan melempari Rasulullah dengan batu. Lemparan-lemparan batu itu menyebabkan kaki beliau berdarah. Rasulullah dan Zaid berusaha menghindar dan naik ke balik gunung, namun penduduk terus mengejar mereka.

Pelarian Rasulullah terhenti di sebuah kebun anggur milik dua saudara dari suku Quraisy, Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah. Dalam tradisi Arab, siapa pun yang masuk ke dalam kebun atau pekarangan seseorang dianggap telah mendapat perlindungan dari pemiliknya.

Di dalam kebun itulah, Rasulullah duduk bersandar di bawah pohon rindang dan melantunkan sebuah doa yang menyentuh hati:

“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan kekuatanku, kekurangan siasatku, dan kehinaanku di hadapan manusia… Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tak peduli. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari segala kegelapan…”

Doa ini menunjukkan kelembutan hati dan tawakal beliau kepada Allah SWT, bahkan dalam kondisi terluka dan dipermalukan.

Pertemuan dengan Addas

Doa Rasulullah tersebut terdengar oleh Utbah dan Syaibah. Keduanya merasa iba dan memanggil seorang budak Nasrani bernama Addas. Mereka menyuruhnya memberikan setandan anggur kepada Nabi Muhammad SAW.

Ketika menerima anggur tersebut, Rasulullah mengucap, “Bismillah,” sebelum memakannya—sebuah kebiasaan yang membuat Addas terkejut.

Rasulullah lalu bertanya, “Dari mana asalmu dan apa agamamu?”

Addas menjawab, “Aku seorang Nasrani dari Ninawa (kini wilayah Irak).”

Rasulullah tersenyum dan berkata, “Dari kota seorang hamba saleh bernama Yunus bin Matta. Dia adalah saudaraku. Ia seorang nabi, dan aku juga nabi.”

Addas yang terharu atas pengetahuan dan kelembutan Rasulullah langsung mencium tangan dan kaki beliau, lalu menyatakan keislamannya saat itu juga.

Untuk mengenang kisah spiritual di Thaif ini, kini dibangun sebuah masjid di bekas rumah Addas. Masjid itu dikenal dengan nama Masjid Addas dan menjadi simbol hidayah yang lahir dari kesabaran dan kelembutan Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi ujian.

Perjalanan Rasulullah SAW ke Thaif merupakan bukti nyata bahwa dakwah penuh dengan ujian dan tantangan. Namun, dari luka dan penolakan yang menyakitkan, Allah menumbuhkan benih hidayah melalui hati seorang budak bernama Addas. Kisah ini menjadi pelajaran bagi umat Islam tentang kesabaran, kasih sayang, dan keikhlasan dalam menyampaikan kebenaran. (*)

Berita Populer