Wang Sinawang Yogyakarta, Event Akbar Terinspirasi Dari Falsafah Jawa Yang Dalam

Bagikan :
Para da’i nasional bersama Kyai Jazir (Masjid Jogokarian)

Yogyakarta – Tidak berlebihan memang jika acara Wang Sinawang ini disebut sebagai event ukhuwah terbesar di Yogyakarta. Betapa tidak, rangkaian acaranya saja terlaksana selama kurang lebih empat hari yang dimulai dari tanggal 30 Agustus hingga 2 September 2024. Adapun tempat kegiatan berpindah-pindah dari sebuah masjid ke masjid yang lain hingga satu panggung ke panggung yang lain dan berlangsung di dalam maupun di luar ruangan.

Hari pertama kegiatan dimulai dari Masjid Agung Kulonprogo berupa kajian setelah selesai sholat Jumat, kemudian berlanjut di Masjid Suciati Saliman pada waktu sholat Ashar, hingga Kajian Akbar di Lapangan Panahan Kenari pada malam harinya.

Memasuki hari kedua, kegiatan dimulai pagi hari dengan Kajian Akbar di Masjid Agung Al-Ikhlas Wonosari. Malam harinya berlangsung acara SAF Original yang bertempat di Hotel Sheraton.

Di pagi hari ketiga, kegiatan berupa Pengajian Akbar digelar di Pesantren Merapi Merbabu kemudian dilanjutkan dengan baksos dan acara memetik sayur bersama masyarakat. Pada malam harinya dilaksanakan Pengajian Akbar di Masjid Jogokarian.

Pada hari keempat yaitu Senin tanggal 2 September 2024 dan merupakan hari terakhir event Wang Sinawang kali ini, kegiatan dilaksanakan di Masjid Nurul Ashri, yang dimulai dengan sholat subuh berjamaah kemudian dilanjutkan dengan Pengajian Akbar.

Selain rangkaian kegiatan yang banyak dan padat itu, para pemateri dalam acara ini adalah para da’i tingkat nasional. Hadir menjadi pemateri utama adalah Tuan Guru Ustadz Abdul Somad (UAS) yang didampingi oleh Ustadz Salim A. Fillah selaku tuan rumah, Ustadz Luqmanulhakim atau Ayahman dan Habib Muhammad bin Anies.

Tampil juga sebagai pengisi acara adalah Ustadz Muhammad Faizar, Ustadz Handy Bonny, Ustadz Hyung Hammad Rosadi, Baraa Masoud dan Fathul Jihad hingga Kyai Jazir yang turut memberi tausiah dalam suatu sesi acara di Masjid Jogokarian

Pelaksanaan acara Wang Sinawang ini sendiri terinspirasi dari falsafah Jawa yang juga sekaligus menjadi tajuk dari event ini. Dua kata ini sebenarnya berasal dari kata sawang yang dalam bahasa Jawa dapat diartikan sebagai “lihat atau pandang”. Secara harfiah, wang sinawang berarti saling memandang.

Namun secara filosofis, ia memiliki kedalaman makna yang dapat dijabarkan sebagai suatu perenungan dalam hidup ini untuk tidak membandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain. Hal ini karena boleh jadi apa yang kita lihat dapat berbeda jauh dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Meresapi lebih dalam makna wang sinawang juga dapat membawa kita untuk mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada kita, tanpa membandingkannya dengan anugerah yang dimiliki oleh orang lain.

Adapun event Wang Sinawang ini secara resmi dimulai di Masjid Suciati Saliman, dimana didahului dengan sholat Ashar berjamaah kemudian dilanjutkan dengan beberapa sesi acara pembuka hingga tausiah oleh Ustadz Abdul Somad (UAS) yang mengisi materi utama.

Hadir memberikan sambutan di Masjid Suciati Saliman adalah Bapak Sri Purnomo selaku tokoh masyarakat yang juga pernah menjabat sebagai Bupati Sleman. Kemudian tampil memberikan tausiah pembuka sebelum menuju kepada pembicara utama adalah Ustadz Salim A. Fillah. Dalam penyampaiannya Ustadz Salim menceritakan bagaimana kisah Umar bin Khathab yang menyaksikan kehidupan Rasulullah yang sangat sederhana hingga membandingkannya dengan kehidupan para penguasa Persia dan Romawi yang hidup dalam kemewahan.

Ustadz Salim A. Fillah dalam sesi Masjid Jogokarian

“Wahai Umar, tidakkah engkau ridho, mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat”, ujar Ustadz Salim mengutip sabda Rasulullah Saw kepada Umar bin Khathab. Ucapan singkat Rasulullah ini tentu menyadarkan kita, betapa tidak berartinya kehidupan orang-orang yang tidak beriman di dunia ini jika dibandingkan dengan kehidupan kita di akhirat kelak.

Ustadz Salim tidak berpanjang lebar, sekitar sepuluh menit berkisah, ia pun menutup tausiahnya dan kemudian dilanjutkan oleh penyampaian dari Ayahman.

“Jogja ini selalu istimewa”, ungkap Ayahman di awal tausiahnya. Ayahman melanjutkan penyampaiannya dengan menceritakan beberapa pengalamannya membersamai beberapa hamba Allah yang tuna netra, namun segala keterbatasan itu tidak menghalanginya untuk menjalani hidup dengan melakukan kebaikan.

Inti dari cerita mengenai pengalamannya itu, Ayahman seolah menyampaikan sebuah ironi, yakni apakah yang membuat kita menjadi tidak bersyukur dengan keadaan, padahal kita ditakdirkan dengan kondisi fisik yang lebih sempurna.

Ayahman dalam sesi Masjid Jogokarian

“Maka kalau (urusan) akhiratnya lihat ke atas, (urusan) dunianya lihat ke bawah, kita akan menjadi pribadi yang qona’ah dan hidupmu seperti raja”, pungkas Ayahman di penghujung tausiahnya.

Sebagaimana Ustadz Salim A. Fillah, Ayahman juga tidak berlama-lama dalam menyampaikan nasihatnya. Acara kemudian dilanjutkan dengan tausiah utama yang disampaikan oleh Tuan Guru Ustadz Abdul Somad (UAS).

“Mudah-mudahan kita semua selalu istiqomah iman dan Islam”, demikian doa UAS di awal tausiahnya. Lebih lanjut UAS memaparkan tentang bahaya penyakit tamak atau rakus. Karena jika manusia terkena penyakit ini maka ia bisa lebih ganas dari pada binatang. UAS juga menjelaskan tentang bagaimana sifat qona’ah itu yang sebenarnya.

Ustadz Abdul Somad (UAS)

“Jadi bukan qona’ah itu berarti tidak mempunyai cita-cita, tidak mempunyai keinginan” paparnya. Hal ini dijelaskan oleh UAS, bagaimana Rasulullah yang mempunyai visi dan misi yang besar jauh ke depan. Semasa hidupnya Rasulullah pernah mengatakan Konstantinopel akan jatuh ke tangan umat Islam. Dan apa yang beliau sampaikan itu terwujud setelah 700 tahun kemudian, yang mana lahirlah Muhammad Alfatih yang menjadi pembebas Konstantinopel yang kemudian berubah nama menjadi Kota Istanbul seperti yang kita kenal saat ini.

“Maka kuncinya ada pada qona’ah, merasa cukup, tapi kalian tetap punya cita-cita yang tinggi dan hebat, insya Allah adik-adik semua akan menjadi raja”, demikian pesan UAS kepada anak-anak muda di akhir tausiahnya.

Habib Muhammad bin Anies dalam sesi Masjid Jogokarian

Sementara itu dalam salah satu sesi Wang Sinawang di Masjid Jogokarian, hadir Habib Muhammad bin Anies menyampaikan tausiahnya.

“Ayo, jauhilah maksiat yang membuat kita semakin jauh dari Allah”, ujarnya. Habib Muhammad bin Anies mengajak jamaah tidak hanya menjauhi maksiat, tapi juga bagaimana apabila kita bertemu dengan pelakunya, maka kita dapat mencegahnya dengan amar ma’ruf, atau dengan cara yang baik.

Rangkaian acara demi acara Wang Sinawang berlanjut hingga selesai selama kurang lebih empat hari, meninggalkan ilmu dan kesan ukhuwah yang mendalam bagi masyarakat, khususnya di Yogyakarta. Semoga Allah SWT menjaga guru-guru kita selalu sehat dalam ketaatan, sehingga memberikan banyak kebermanfaatan yang luas bagi kepentingan umat.

Berita Populer