Mengapa Tahun Baru Islam Tidak Seramai Tahun Baru Masehi? Sebuah Renungan dalam Sunyi

Bagikan :
Ilustrasi. (Foto.Net)

masjidkapalmunzalan.id  – Pernahkah kamu merasa… ada sesuatu yang berlalu begitu saja, tanpa sempat kamu sadari? Tahun berganti. Hari-hari terus berjalan. Tapi ada satu momen yang nyaris tak menimbulkan bunyi—sunyi, sepi, senyap. Sementara di sisi lain, ada hari yang justru kita persiapkan jauh-jauh hari. Dirayakan dengan lampu warna-warni, hitung mundur di layar besar, pesta kembang api yang memecah langit malam, dan jutaan ucapan “Happy New Year” yang membanjiri notifikasi.

Tahun Baru Masehi selalu datang dengan gegap gempita. Ribuan orang memadati jalanan, mengenakan baju terbaik, bersorak, menghitung detik. Langit penuh warna. Telinga penuh dentuman. Dan dunia seperti ikut berpesta.

Tapi… saat Tahun Baru Islam tiba—1 Muharram—langit tetap gelap. Jalanan tetap biasa. Berita pagi tidak membicarakannya. Bahkan, mungkin sebagian dari kita tidak tahu kalau hari itu adalah awal tahun menurut kalender kita sendiri sebagai Muslim. Tak ada kembang api. Tak ada countdown. Tak ada perayaan yang viral. Yang ada hanya… hari libur nasional yang kadang sekadar jadi hari untuk bangun lebih siang.

Dan di titik ini, aku mulai bertanya pada diriku sendiri—dan mungkin, kamu juga pernah bertanya: “Mengapa tahun baru kita sendiri… justru terasa seperti milik orang lain yang lewat tanpa permisi?” Apakah kita terlalu terbiasa dengan tren yang datang dari luar, hingga tak menyadari makna yang ada di dalam diri kita sendiri? Apakah kita sungguh kehilangan makna? Atau hanya belum sempat benar-benar mengenalnya?

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan. Bukan juga ingin menggurui. Aku hanya ingin mengajakmu—dan juga diriku sendiri—untuk duduk sejenak. Memandang ulang waktu, dan bertanya dalam hati: “Sebenarnya, tahun seperti apa yang ingin kita mulai?” Karena bisa jadi… justru dalam sunyi itulah, ada pesan yang lebih dalam menunggu untuk didengar.

Di dunia yang semakin cepat dan penuh distraksi ini, kita terbiasa hidup mengikuti gelombang yang ramai. Apa yang sedang tren, itulah yang dituju. Apa yang sedang viral, itulah yang dibicarakan. Apa yang paling banyak dirayakan, di situlah kita merasa “harus ikut serta”. Dan mungkin, tanpa sadar… kita juga ikut merayakan apa yang sebenarnya tidak terlalu kita pahami, dan perlahan melupakan apa yang seharusnya kita maknai.

Tahun Baru Masehi, misalnya, datang bersama paket lengkap perayaan: diskon besar-besaran, dekorasi warna-warni, resolusi yang dibagikan di media sosial. Kita punya gambaran yang kuat tentang bagaimana tahun baru itu “seharusnya” dirayakan. Tapi 1 Muharram? Kita bahkan sering kali tidak tahu harus merasa apa. Karena dari kecil kita tidak diajarkan bagaimana caranya menyambut tahun baru hijriyah dengan makna. Karena tidak ada euforia massal yang bisa kita lihat di TV atau medsos. Karena tidak ada “tradisi besar” yang turun-temurun menancap dalam kesadaran kita sebagai umat Islam modern—terutama di tengah budaya yang semakin global.

Lalu, pelan-pelan, kita mulai menganggap wajar bahwa tahun baru yang benar-benar kita tunggu… bukan lagi tahun baru kita sendiri. Bukan karena kita membenci identitas. Tapi karena kita terlalu akrab dengan yang di luar, dan terlalu asing dengan yang dari dalam. Dan ketika itu terjadi, kita perlu bertanya dengan jujur:

Apakah kita hanya ikut-ikutan keramaian dunia, atau memang telah kehilangan makna waktu dalam Islam?

Apakah kita hanya melewati 1 Muharram sebagai hari libur biasa, tanpa pernah bertanya, “Apa yang sebenarnya dimulai hari ini?”

Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin terdengar berat. Tapi percayalah, ini bukan untuk menambah beban. Justru sebaliknya—untuk memberi kita ruang. Ruang untuk pelan-pelan menyadari bahwa mungkin kita belum terlambat untuk kembali belajar menghargai waktu yang Allah titipkan dalam hitungan-Nya sendiri. Karena kalender Hijriyah bukan sekadar sistem tanggal, tapi cermin sejarah dan spiritualitas kita. Di setiap pergantian tahunnya, Allah memberi kesempatan baru—bukan untuk bersorak, tapi untuk merenung. Bukan untuk pesta, tapi untuk pulang.

Kalau tahun baru masehi sering diasosiasikan dengan pesta dan resolusi duniawi, maka tahun baru hijriyah justru mengajak kita memulai dari tempat yang berbeda—lebih dalam, lebih sunyi, lebih jujur.

Muharram bukan hanya “bulan pertama” dalam kalender Islam. Ia adalah satu dari empat bulan yang dimuliakan Allah. Bulan yang disebut dalam Al-Qur’an, dan di dalamnya ada nilai yang begitu besar: Hijrah.

Kita sering dengar tentang hijrah Nabi ﷺ dari Makkah ke Madinah, tapi kadang lupa, bahwa hijrah itu bukan cuma soal jarak dan tempat. Hijrah adalah titik balik. Perubahan besar yang lahir dari kelelahan akan hidup lama yang tak lagi selaras dengan hati. Hijrah adalah keberanian untuk meninggalkan yang menyakiti jiwa, meski itu berarti berjalan ke tempat yang belum pasti. Dan Muharram adalah penanda: ”Ini waktunya kamu melihat ulang ke mana langkahmu sedang menuju.”

Tahun masehi mungkin mengajak kita membuat resolusi luar: berat badan, karier, target finansial, pencapaian akademis. Tapi tahun hijriyah, khususnya Muharram, membisikkan resolusi yang lebih sunyi:

Bagaimana kabar hatimu?

Apakah arah hidupmu masih lurus ke Allah?

Apa yang ingin kamu tinggalkan tahun ini, demi menjadi lebih dekat kepada-Nya?

Tak perlu jawaban besar. Kadang cukup satu niat kecil yang tulus: mulai jujur pada diri sendiri, mengurangi kebiasaan yang diam-diam merusak, atau sekadar ingin lebih sering menengadahkan tangan dalam doa. Karena Muharram tidak menuntut pesta. Ia hanya mengajak kita untuk diam sebentar, berhenti sejenak dari keramaian dunia, dan memandang arah. Arah hidup kita. Arah hati kita. Arah rindu kita.

Dan di antara semua awal yang bisa kita pilih, barangkali inilah awal yang paling bermakna: saat kita kembali menengok langit, dan menyadari… aku ingin pulang ke Allah, dengan versi diriku yang lebih jujur, lebih bersih, dan lebih siap untuk tumbuh.

Coba kita berhenti sejenak, lalu jawab pertanyaan ini dalam hati: Hari ini tanggal berapa dalam kalender Hijriyah? Bulan apa sekarang? Apa kita benar-benar tahu… atau hanya menebak? Tidak apa-apa kalau kamu belum tahu. Tidak apa-apa kalau kamu merasa asing. Karena kamu tidak sendirian.

Sebagian besar dari kita tumbuh mengenal kalender masehi lebih dalam daripada kalender Islam. Kita hapal 1 Januari, 17 Agustus, 25 Desember. Tapi seringkali bingung saat mendengar 10 Muharram, 1 Dzulhijjah, atau 12 Rabiul Awal. Ini bukan soal kita tak cinta agama. Tapi mungkin… kita tak terbiasa merawat waktunya.

Kalender masehi hidup dalam ruang publik. Ia terpampang di layar ponsel, agenda kerja, kalender meja, hingga iklan promo belanja. Ia hadir dalam sistem pendidikan, kontrak kerja, agenda nasional, dan perayaan global. Dan tanpa sadar, ia pun hidup dalam kesadaran batin kita—menentukan ritme hidup kita sehari-hari.

Sebaliknya, kalender hijriyah… seringkali hanya muncul di momen-momen ritual: puasa Ramadan, lebaran, haji. Dan setelahnya… kita kembali ke sistem waktu yang seolah bukan milik kita. Apakah ini salah? Tidak harus kita jawab dengan rasa bersalah. Karena ini bukan tentang menyalahkan siapa pun. Tapi ini tentang menyadari—pelan-pelan—bahwa mungkin kita sedang hidup terlalu lama dalam sistem yang tak memberi ruang pada identitas waktu kita sendiri.

Padahal kalender hijriyah bukan hanya soal hitungan hari. Ia adalah warisan sejarah peradaban, yang menyimpan peristiwa-peristiwa besar iman, perjuangan, dan harapan. Di setiap bulannya, ada kisah. Di setiap pergantian tahunnya, ada pelajaran. Dan dalam setiap waktunya, ada Allah yang menunggu kita untuk kembali mengingat-Nya.

Kalau waktu saja sudah kita lepaskan dari kesadaran, apa lagi yang akan kita relakan pelan-pelan untuk hilang? Tulisan ini bukan ingin membuatmu merasa kurang, tapi ingin mengajakmu untuk merasa ingin tahu lagi. Ingin dekat lagi. Ingin akrab lagi dengan warisan kita sendiri. Karena kadang, yang kita butuhkan untuk mencintai… bukan ceramah panjang atau amarah keras, tapi sentuhan lembut yang mengingatkan siapa kita, dan di mana rumah kita sebenarnya.

Kita tak bisa serta-merta mengubah dunia di luar sana. Kita tak bisa memaksa media menyorot 1 Muharram seperti mereka menyambut tahun baru masehi. Kita juga tak bisa menuntut orang-orang di sekitar kita langsung memahami kenapa kalender hijriyah penting. Tapi kita bisa memulai dari diri sendiri. Pelan-pelan. Sederhana. Tapi terus.

Membangun keakraban dengan waktu-waktu Islami bukan soal mengganti sistem, tapi soal menumbuhkan kembali rasa memiliki. Karena sesuatu yang kita rasa milik sendiri, akan lebih mudah kita jaga, dan kita cintai.

Apa yang bisa kita lakukan? Mungkin sesederhana: Menyimpan aplikasi kalender hijriyah di ponsel dan mulai mengecek tanggalnya tiap hari. Menandai momen-momen penting di kalender Islam—bukan hanya Ramadan dan Idulfitri, tapi juga 1 Muharram, 10 Muharram, 12 Rabiul Awal, 27 Rajab, dan lainnya. Mengisi awal tahun Islam dengan membuat resolusi spiritual: memperbaiki niat, memperbaiki ibadah, memperbaiki relasi dengan sesama. Mengajak teman atau keluarga duduk sejenak, sekadar membacakan kisah hijrah Nabi ﷺ, atau menuliskan doa di lembar jurnal.

Tak perlu ada pesta. Tak perlu kemewahan. Cukup ada kesadaran, bahwa 1 Muharram adalah milik kita. Bayangkan kalau tiap rumah menyalakan satu lilin doa di malam pergantian tahun hijriyah. Bayangkan jika di media sosial, kita membagikan satu kutipan tentang hijrah, bukan hanya video countdown. Bayangkan jika tahun baru Islam tak lagi terasa asing, karena sudah lebih dulu hidup—di hati kita.

Mungkin tidak viral. Mungkin tidak ramai. Tapi itulah keindahannya: diam-diam memberi makna. Kalau kamu merasa telat memulai semua ini, tenang. Kita semua memulai dari titik yang berbeda. Dan Allah tak menilai siapa yang lebih dulu—Dia melihat siapa yang tulus melangkah. Karena kadang, satu langkah kecil untuk mengenal kembali waktu kita sendiri, lebih berharga daripada seribu langkah cepat yang tidak tahu arah.

Tahun baru Islam memang tak datang dengan gegap gempita. Tak ada ledakan kembang api. Tak ada countdown serentak di layar kaca. Tak ada pesta meriah yang menghentak jalanan kota. Ia datang perlahan. Sunyi. Tertutup oleh hingar-bingar kalender dunia. Tapi justru di dalam sunyi itulah… barangkali ada makna yang lebih jernih.

Karena tidak semua hal yang besar itu harus dirayakan dengan keramaian. Beberapa hal justru paling dalam ketika hadir dalam diam. Seperti niat yang kembali lurus. Seperti luka yang mulai pulih. Seperti hati yang perlahan menemukan arah pulang.

Muharram tidak menuntut kita untuk berkerumun. Ia hanya ingin kita duduk sejenak, dan bertanya dalam diam:

“Apa yang ingin aku perbaiki di tahun ini?”

“Apa yang ingin aku tinggalkan agar lebih dekat dengan Allah?”

“Siapa yang ingin aku minta maaf, agar langkahku lebih ringan?”

Tak ada yang salah dengan perayaan tahun baru masehi. Tapi akan terasa sayang, jika tahun baru hijriyah berlalu tanpa makna. Jika kalender Islam hanya menjadi angka yang kita lewati—bukan waktu yang kita resapi. Tapi kamu tahu? Tak pernah ada kata terlambat untuk mulai peduli. Untuk mulai menandai ulang hari-hari milik kita. Untuk mulai mengenal, memahami, dan mencintai waktu yang selama ini Allah titipkan, tapi belum kita jaga sepenuh hati.

Malam ini, atau kapan pun kamu membaca ini, barangkali kamu sedang sendiri. Tidak ada pesta. Tidak ada keriuhan. Tapi semoga di dalam sunyi itu… Allah berikan kamu cahaya kecil—yang cukup untuk memulai langkah baru. Langkah yang tidak perlu cepat. Tidak perlu sempurna. Cukup tulus. Cukup satu. Cukup sekarang.

Selamat menyambut tahun baru hijriyah, dengan hati yang tenang, langkah yang jujur, dan harapan yang baru. Semoga tahun ini, kita lebih sadar. Lebih dalam. Dan lebih dekat. Aamiin. (*)

Berita Populer