
Kurban di Era Digital — Heboh Feed, Hampa Spirit
Setiap tahun, Idul Adha datang membawa semarak. Masjid-masjid kembali hidup dengan takbir yang menggema, panitia kurban bersiap sejak pagi, dan aneka unggahan di media sosial mulai bermunculan: ada yang memposting foto sapi dan kambing pilihan, ada yang membagikan momen penyembelihan, bahkan tak sedikit yang menulis caption panjang bernuansa islami, lengkap dengan filter tone aesthetic yang menenangkan.
Tidak ada yang salah dengan itu. Media sosial memang menjadi ruang berbagi, termasuk untuk menyampaikan rasa syukur atas kesempatan berkurban. Tapi, kita perlu jujur bertanya pada diri sendiri: apakah yang kita cari benar-benar ridha Allah, atau validasi dari followers? Apakah hewan yang disembelih menjadi simbol ketundukan hati, atau sekadar konten tahunan yang “engagement-nya tinggi”?
Di tengah riuhnya dokumentasi visual, sering kali ruh spiritual dari kurban itu sendiri justru tertinggal. Kita sibuk memastikan daging sampai ke tangan mustahik, tapi lupa memastikan apakah makna kurban sudah sampai ke hati kita sendiri. Kurban akhirnya menjadi seremonial yang mewah secara tampilan, namun minim pengaruh pada perubahan diri.
Idul Adha bukan sekadar tentang sapi, kambing, atau pisau yang diasah. Ia adalah tentang keikhlasan menyembelih sesuatu dalam diri kita, sesuatu yang mungkin selama ini terlalu kita genggam erat.
Kurban: Bukan Cuma Soal Daging dan Darah
Allah telah mengingatkan kita dengan sangat jelas dalam firman-Nya:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang sampai kepada-Nya…”
(QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini seolah menjadi tamparan lembut bagi kita yang mungkin terlalu fokus pada proses fisik kurban, tetapi melupakan ruhnya. Allah tidak sedang menilai seberapa besar hewan yang kita serahkan, bukan pula seberapa banyak kita menyumbang. Yang Allah cari adalah ketakwaan, yaitu hati yang tunduk, niat yang lurus, dan pengorbanan yang tulus.
Bisa jadi kita telah mengeluarkan biaya yang besar, mengatur segala hal dengan rapi, bahkan membagikan kurban ke banyak tempat. Tapi jika semua itu tidak lahir dari ketulusan ibadah, lalu untuk siapa sebenarnya semua ini kita lakukan?
Ibarat seseorang yang memberi hadiah kepada orang tuanya hanya karena ingin dipuji tetangga—bukan karena cinta—maka hadiah itu kehilangan maknanya. Kurban pun demikian. Jika kita sibuk memperindah penampilan luar, tapi tidak memperbaiki isi hati, kita bisa saja terlihat berkurban di mata manusia, tapi kosong nilainya di sisi Allah.
Di sinilah pentingnya kita merenung: kurban adalah proses menyembelih sesuatu yang lebih dari sekadar hewan. Ia adalah latihan spiritual untuk menyembelih ego, rasa memiliki yang berlebihan, dan segala hal yang membuat kita sulit untuk taat.
Generasi kita—yang sering tumbuh dengan segala yang serba instan—perlu belajar bahwa pengorbanan bukan tentang seberapa cepat dan mudah, tetapi tentang seberapa dalam kita rela kehilangan sesuatu demi meraih sesuatu yang lebih besar: ridha Allah.
Gagal Move On dari Seremonial ke Spiritual
Tak bisa dipungkiri, Idul Adha hari ini—di banyak tempat—terlihat semakin megah secara seremonial. Jumlah hewan kurban meningkat, desain banner panitia semakin kreatif, dokumentasi pun dikerjakan dengan alat yang profesional. Tapi pertanyaannya: apakah makna spiritual kurban juga ikut meningkat? Atau justru stagnan—bahkan menurun?
Banyak di antara kita yang begitu semangat saat membeli hewan kurban, tapi tidak pernah bertanya kepada diri sendiri: apa yang sebenarnya sedang aku korbankan tahun ini?
Apakah hanya uang? Atau ada bagian dari diri ini yang juga ikut diserahkan kepada Allah—seperti rasa cinta yang berlebihan pada dunia, ambisi pribadi yang tak selaras dengan kebaikan, atau kesenangan sesaat yang sulit ditinggalkan?
Kita kadang terlalu nyaman di zona seremonial, sehingga tidak pernah benar-benar berpindah ke zona spiritual. Padahal sejatinya, kurban bukan hanya tentang menyembelih, tapi juga disembelih. Yang disembelih bukan hanya hewan, tapi juga ego yang selama ini membuat kita enggan taat, rasa malas yang menunda kebaikan, dan nafsu duniawi yang membutakan arah hidup.
Coba perhatikan, apakah tanda-tanda “gagal move on dari seremonial” ini ada dalam diri kita?
- Tidak ada rasa kehilangan setelah berkurban.
Seolah-olah semua baik-baik saja, padahal kurban sejati selalu meninggalkan bekas: entah air mata, keikhlasan yang dalam, atau kesadaran bahwa kita telah melepaskan sesuatu yang kita cintai demi Allah.
- Tidak ada perubahan dalam diri.
Tahun berganti, kurban tetap dilakukan, tapi sikap dan spiritualitas tetap di tempat. Kurban hanya jadi rutinitas tahunan tanpa efek transformatif.
- Tidak ada refleksi personal.
Kita tahu kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, tapi kita tidak pernah menempatkan diri dalam kisah itu. Padahal, jika dipikir-pikir, bisa jadi kita adalah “Ismail” yang belum siap disembelih, atau “Ibrahim” yang belum berani melepaskan sesuatu yang paling kita cintai.
Dan akhirnya, kita pun hanya menjadi bagian dari ramai-ramai kurban, tapi tak ikut serta dalam inti terdalamnya. Kita sibuk mengejar dagingnya sampai ke rumah mustahik, tapi tidak memastikan apakah maknanya sudah sampai ke rumah hati kita.
Belajar dari Ibrahim & Ismail: Dua Generasi, Satu Ketundukan
Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan putranya, Nabi Ismail, adalah fondasi spiritual dari ibadah kurban. Tapi sayangnya, kisah ini sering kali berhenti di permukaan: disampaikan hanya sebagai cerita heroik penuh pengorbanan, tanpa benar-benar kita tempatkan dalam kehidupan nyata.
Padahal, di balik kisah itu ada pelajaran yang amat dalam: tentang ketundukan dua generasi yang berbeda—ayah dan anak—namun satu dalam tujuan: sama-sama rela melepaskan segalanya demi Allah.
Bayangkan jika kita ada di posisi Ibrahim. Diuji dengan perintah yang tak masuk logika manusia: menyembelih anak sendiri, anak yang telah lama dinanti dengan penuh doa. Tapi apa responsnya?
“Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.”
(QS. Ash-Shaffat: 102)
Dan lihat bagaimana jawaban Ismail—yang mungkin usianya setara remaja SMA zaman sekarang:
“Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
(QS. Ash-Shaffat: 102)
Dua kalimat itu menunjukkan kedewasaan iman yang luar biasa. Ibrahim menunjukkan ketaatan total, dan Ismail menunjukkan kerelaan mutlak. Keduanya tidak mendebat wahyu, tidak menawar perintah, tidak menunda pelaksanaan. Hati mereka telah lurus menuju Allah.
Lalu kita bertanya pada diri sendiri:
Apakah kita sanggup melepaskan sesuatu yang kita cintai karena Allah?
Atau justru selama ini kita masih sibuk mencari-cari celah untuk mempertahankan semua hal duniawi, sembari berkata, “nanti dulu ya, belum siap…”
Kurban bukan soal anak dan sembelihan. Kurban adalah soal iman, ketaatan, dan keberanian melepas.
Apa yang Harusnya Kita Sembelih Hari Ini?
Di zaman sekarang, Allah tidak lagi memerintahkan kita menyembelih anak seperti Nabi Ibrahim. Tapi bukan berarti kita bebas dari ujian pengorbanan. Karena setiap zaman punya “Ismail”-nya masing-masing. Dan setiap orang punya “sesuatu” yang paling sulit dilepaskan, namun sangat mungkin diminta oleh Allah untuk dikorbankan.
Maka pertanyaannya bukan lagi: “Berapa ekor kambing yang kamu sembelih tahun ini?” Tapi lebih jujur lagi: “Apa yang selama ini kamu peluk terlalu erat, padahal Allah minta untuk dilepas?”
Coba kita renungkan. Mungkin “Ismail” kita hari ini adalah:
- Ambisi pribadi yang menjauhkan dari Allah.
Seolah sukses versi dunia harus dicapai walau harus korbankan waktu ibadah dan akhlak.
- Hubungan yang tidak halal tapi sulit ditinggalkan.
Kita tahu tidak benar, tapi selalu ada alasan untuk bertahan: “Nanti juga tobat”, “Masih saling sayang”, “Dia bakal berubah kok.”
- Kebiasaan buruk yang sudah jadi bagian dari identitas.
Misalnya: scroll media sosial sampai larut, menunda salat, omongan yang tajam, atau gaya hidup konsumtif.
- Ego yang terlalu besar untuk meminta maaf atau menerima nasihat.
Kita lebih takut terlihat lemah di depan manusia daripada takut salah di hadapan Allah.
Kurban adalah waktu yang tepat untuk menyembelih semua itu. Tapi tentu tidak mudah. Karena menyembelih daging mungkin hanya butuh satu kali tebasan. Tapi menyembelih hawa nafsu, ego, dan kebiasaan buruk bisa butuh perjuangan berkali-kali.
Namun percayalah, setiap kali kita berhasil “menyembelih” satu bagian dari diri kita yang tidak Allah ridai, itu bukan kehilangan. Itu justru bentuk hijrah. Dan dalam setiap hijrah yang tulus, ada janji Allah yang tak akan pernah dusta:
“Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan ganti dengan yang lebih baik.”
(HR. Ahmad, no. 22565)
Agar Kurban Tak Sekadar Lewat di Feed
Idul Adha memang hanya datang setahun sekali, tapi pesan dan semangatnya seharusnya hidup setiap hari. Karena kurban bukan sekadar event keagamaan yang diabadikan di feed, lalu dilupakan keesokan harinya. Ia adalah momen refleksi tahunan: apakah kita masih menaruh dunia lebih tinggi dari ridha Allah? Apakah kita masih terlalu sibuk menunjukkan kebaikan kepada manusia, tapi lupa menunjukkannya kepada Tuhan?
Tahun ini, mari kita pastikan kurban bukan sekadar daging yang berpindah tangan. Tapi juga ada bagian dari diri kita yang berpindah posisi: dari enggan menjadi taat, dari keras menjadi lembut, dari duniawi menjadi lebih ilahi.
Kalau pun tidak bisa langsung berubah total, minimal ada satu “Ismail” dalam diri kita yang kita ikhlaskan untuk disembelih. Entah itu kebiasaan buruk, ambisi yang salah arah, atau cinta yang belum halal. Karena seperti kata para ulama: “Hijrah terbesar bukan berpindah tempat, tapi berpindah niat.”
Akhirnya, mari kita jadikan Idul Adha ini sebagai titik balik. Bukan hanya untuk update status atau mempercantik galeri, tapi untuk memperbaiki isi hati dan orientasi hidup.
Semoga kurban kita diterima Allah. Semoga maknanya tidak tertinggal, walau dagingnya sudah tersebar.