Hijrah dan Toxic Positivity: Berubah Itu Perlu Ruang, Bukan Tekanan

Bagikan :
Ilustrasi. (Foto: Net)

masjidkapalmunzalan.id – Pernah nggak, kamu ngerasa udah berusaha berubah… tapi tetap aja rasanya kayak gagal? Kamu mulai pelan-pelan ninggalin hal-hal yang dulu kamu tahu nggak sehat buat diri kamu. Kamu coba jaga lisan, jaga pandangan, coba rajin salat, jaga jarak sama lingkungan yang dulu bikin kamu jauh dari Allah. Tapi… entah kenapa, kamu tetap merasa nggak cukup.

Di satu sisi, kamu udah mulai berubah. Tapi di sisi lain, ada suara dalam hati yang bilang, “Apa gunanya? Toh masih banyak salahnya.” Atau bahkan, suara dari luar yang bikin makin down: “Baru belajar agama, udah sok suci.” “Kalau hijrah, ya sekalian aja total. Jangan setengah-setengah.” Kalimat-kalimat seperti itu terdengar manis. Tapi kadang, rasanya justru kayak cambuk di punggung yang belum sembuh dari luka lama. Dan kalau kamu pernah merasa seperti itu—tenang. Kamu nggak sendiri.

Banyak dari kita yang sedang dalam perjalanan hijrah, tapi jalannya nggak lurus, nggak cepat, dan nggak selalu terang. Kadang kita jatuh. Kadang berhenti lama di satu titik. Kadang pengin balik ke versi lama diri kita, karena setidaknya dulu… nggak seberat ini. Tapi bukan berarti kamu gagal.

Hijrah bukan perlombaan. Bukan juga panggung untuk dinilai siapa paling baik, siapa paling konsisten, siapa paling cepat berubah. Hijrah itu perjalanan sunyi, antara kamu dan Tuhanmu. Dan nggak ada satu pun manusia yang berhak menentukan seharusnya kamu sampai di mana hari ini.

Kalau kamu sedang merasa lelah karena belum bisa jadi seperti yang orang lain harapkan, atau bahkan belum bisa jadi seperti yang kamu harapkan—beri ruang untuk dirimu. Tarik napas. Duduk sebentar. Dengarkan hatimu. Kamu nggak salah. Kamu cuma sedang berjalan.

Kadang kita dibebani kata “hijrah” seakan-akan itu label sakral yang harus langsung sempurna. Berubah hari ini, besok harus langsung kuat. Mulai pakai pakaian syar’i, harus langsung paham fiqih. Ninggalin musik, harus langsung ngerti tafsir. Shalat lima waktu, harus langsung tahajud tiap malam. Padahal, kenyataannya… hijrah nggak sesederhana itu. Bahkan untuk sekadar berani niat berubah aja, itu udah perjuangan besar.

Hijrah di zaman sekarang bukan cuma soal berpindah dari satu titik ke titik lain secara fisik—kayak Rasulullah ﷺ dari Makkah ke Madinah. Hijrah hari ini seringkali terjadi secara batin. Dari gelisah ke tenang. Dari kosong ke berharap. Dari merasa “nggak pantes dekat sama Tuhan”, jadi perlahan punya keberanian buat nyebut nama-Nya dalam doa, walau masih malu-malu.

Hijrah bukan tentang berubah total dalam semalam. Bukan juga soal penampilan luar semata. Hijrah, sesederhana… ketika kamu mulai resah dengan kebiasaan burukmu sendiri, dan kamu mulai ngerasa: “Aku butuh Allah.” Itu aja udah hijrah.

Masalahnya, sering kali yang membuat orang takut untuk hijrah bukan karena mereka nggak mau jadi lebih baik… tapi karena mereka takut nggak bisa memenuhi ekspektasi setelah berhijrah. Takut jatuh lagi. Takut disangka ‘munafik’. Takut dibilang ‘sok alim’. Dan itu terjadi karena lingkungan kita sering memaknai hijrah sebagai hasil akhir, bukan proses bertahap. Padahal, semua orang punya waktunya sendiri-sendiri.

Nggak ada “tenggat waktu kebaikan” dalam Islam. Yang penting kita terus bergerak, walau lambat. Kalau hari ini kamu belum bisa menjaga semuanya, itu bukan berarti kamu gagal. Kalau kamu masih jatuh ke kesalahan yang sama, itu bukan berarti kamu pura-pura. Itu tandanya: kamu manusia. Dan kamu sedang tumbuh. Karena sejatinya, hijrah itu bukan pencitraan. Tapi kejujuran. Dan kalau kamu jujur sedang berjuang, sedang belajar, sedang mencari arah—maka kamu sedang hijrah. Dan kamu layak untuk dihargai, bukan dipaksa.

Kamu pasti pernah dengar kalimat-kalimat seperti: “Kamu harus kuat.” “Yakin aja, Allah pasti mudahkan.” “Jangan sedih terus, nanti rezekinya seret.” “Ikhlasin aja, biar hidup tenang.” Kalimat-kalimat itu terdengar baik. Penuh semangat. Penuh motivasi. Tapi… pernah nggak, justru kalimat itu terasa menekan? Seolah-olah kita dilarang merasa sedih. Dilarang rapuh. Seolah-olah kalau kita masih nangis, berarti kita kurang iman. Kalau kita belum ikhlas, berarti kita terlalu duniawi.

Inilah yang disebut toxic positivity. Positif, tapi beracun. Semangat, tapi menghakimi. Kalimat baik, tapi nggak kasih ruang untuk luka. Di dunia hijrah, toxic positivity sering datang dengan bentuk yang sangat halus. Misalnya:

“Kalau kamu bener-bener niat hijrah, harusnya udah bisa ninggalin semua maksiat.”

“Orang hijrah tuh nggak galau lagi, karena hatinya udah di Allah.”

“Kalau masih jatuh ke dosa yang sama, berarti belum sungguh-sungguh.”

Masalahnya, orang yang sedang hijrah itu lagi belajar berdiri. Masih goyah. Masih belum seimbang. Dan kalimat seperti itu, bukannya membantu menopang—justru makin menekan. Banyak orang akhirnya menarik diri. Mereka merasa malu karena belum bisa se-“baik” ekspektasi lingkungan. Mereka merasa rendah karena pikirannya masih berantakan. Padahal… mereka sedang berjuang.

Toxic positivity membuat kita lupa bahwa: Beriman itu ada naik-turunnya. Hijrah itu nggak selalu penuh senyum—kadang penuh air mata dan rasa kehilangan. Menjadi baik itu nggak selalu bahagia di awal. Kadang justru lebih sunyi. Dan itu semua wajar. Kita nggak harus selalu “oke”. Nggak harus selalu “tenang”. Nggak harus selalu jadi versi terbaik setiap hari. Karena bahkan sahabat Nabi ﷺ pun pernah sedih, pernah takut, pernah ragu. Dan mereka nggak disuruh untuk “positif terus”. Mereka dipeluk lewat wahyu, bukan ditekan dengan tuntutan. Kita pun begitu.

Yang kita butuh bukan sekadar kalimat positif—tapi pelukan empati. Bukan sekadar nasihat motivasi—tapi teman duduk yang mau mendengarkan. Jadi, kalau kamu hari ini sedang ngerasa belum “sekuat” orang lain, atau belum bisa bangkit secepat yang mereka harapkan… Tenang. Kamu nggak salah. Kamu hanya sedang menjalani prosesmu sendiri. Dan itu sah-sah saja.

Kita seringkali melihat hijrah dari sisi yang indah. Postingan sebelum–sesudah. Cerita tentang hidup yang jadi lebih tenang. Lingkungan baru yang suportif. Hati yang merasa “dekat sama Allah”. Tapi… ada sisi lain dari hijrah yang jarang banget diceritakan. Misalnya tentang kehilangan.

Banyak orang nggak siap saat hijrah justru membuat mereka menjauh dari sahabat lamanya. Nggak lagi diajak nongkrong karena dianggap “udah beda”. Dianggap terlalu serius. Terlalu “sok alim”. Sampai-sampai, kadang kamu jadi bingung: “Kenapa ya, pas aku mulai pengin berubah… justru ngerasa makin sendiri?”

Ada juga yang kehilangan kenyamanan hidup yang dulu. Nggak bisa bebas melakukan hal-hal yang dulu menyenangkan, walau sebenarnya itu yang bikin hati jauh. Sekarang kamu tahu itu salah, tapi perpisahan sama kebiasaan lama itu nggak gampang. Kadang kamu masih kangen. Kadang kamu masih tergoda. Dan kadang kamu ngerasa gagal ketika jatuh lagi. Tapi ini dia: proses hijrah bukan jalan tol lurus tanpa hambatan.

Ada hari di mana kamu bangga sama diri sendiri karena udah bisa jaga lisan. Tapi besoknya, kamu kecewa karena kelepasan ngomong kasar. Ada malam di mana kamu bisa salat tahajud. Tapi ada juga malam di mana kamu justru nggak bangun subuh. Itu bukan tanda kamu munafik. Itu tanda kamu manusia. Dan Allah mencintai hamba-hamba yang terus kembali, bukan yang sempurna setiap waktu.

Tapi tetap… sisi gelap dari hijrah ini seringkali nggak diceritakan. Karena orang takut dikira “nggak serius”. Takut dikomentari: “Makanya, jangan setengah-setengah.” “Hijrah itu harus total. Jangan main-main sama agama.” Padahal nggak semua orang punya kekuatan mental yang sama. Nggak semua orang punya lingkungan yang suportif. Nggak semua orang bisa langsung tahan godaan dunia.

Jadi, kalau kamu merasa hijrah itu berat, sepi, kadang menyakitkan—percaya, kamu bukan satu-satunya. Kita butuh ruang untuk jujur: Bahwa hijrah itu bisa bikin sedih. Bisa bikin merasa “terasing”. Bisa bikin kita ngerasa nggak cukup baik, bahkan di mata diri sendiri. Dan justru karena semua itu, kita butuh saling merangkul, bukan saling menuntut. Hijrah bukan untuk pamer pencapaian, tapi tempat di mana kita saling menyambut—dengan segala luka, jatuh-bangun, dan perjalanan yang belum selesai.

Kita tumbuh di dunia yang memuja kekuatan. Semakin tangguh kamu terlihat, semakin kamu dianggap berhasil. Semakin jarang kamu curhat, semakin kamu dianggap dewasa. Dan semakin kamu bisa menutupi luka—semakin kamu dipuji. Tapi… itu berat, ya? Karena faktanya: nggak semua orang selalu bisa kuat. Nggak semua orang sanggup bangkit secepat itu. Nggak semua orang bisa tegar sambil terus dihantam kenyataan. Dan kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari jatuh? Merasa sendirian saat kamu jatuh.

Kalau kamu sedang di titik itu sekarang—lelah, bingung, nggak tahu harus cerita ke siapa—mungkin kamu perlu tahu satu hal: Kamu nggak harus selalu kuat. Tapi kamu layak didampingi.

Kalau hari ini kamu lagi nggak sanggup buat jadi “versi baik” dari diri kamu, nggak apa-apa. Kalau kamu lagi nggak bisa shalat tepat waktu, atau lagi struggling ninggalin hal buruk yang kamu tahu nggak sehat—nggak apa-apa. Itu bukan berarti kamu berhenti. Itu bukan berarti kamu munafik. Itu berarti kamu sedang manusiawi. Dan jadi manusia itu nggak selalu tentang naik. Kadang kamu harus turun dulu, supaya sadar di mana pijakan yang lebih kokoh.

Kamu boleh berhenti sebentar. Boleh istirahat. Boleh nangis, kalau perlu. Tapi tolong jangan menyerah. Karena walau kamu mungkin ngerasa nggak cukup baik—Tuhan nggak pernah menutup pintu-Nya buat kamu. Kamu layak ditemani dalam prosesmu. Bukan karena kamu udah bagus. Tapi karena kamu bernilai, bahkan saat kamu belum jadi apa-apa.

Dan untuk kamu yang lagi sendirian dalam hijrahmu, yang belum punya teman ngobrol, belum punya tempat cerita, belum nemu siapa yang bisa kamu andalkan… Percaya deh, selalu ada satu Dzat yang nggak akan pernah ninggalin kamu. Yang tahu semua luka kamu, bahkan yang nggak pernah kamu ceritakan. Allah. Dia tahu betapa keras kamu berjuang, betapa sering kamu jatuh dan bangkit lagi—meski nggak ada yang tahu. Dan percayalah, setiap usaha kamu, sekecil apa pun, dicatat. Nggak akan pernah sia-sia.

Kalau kamu lagi ngerasa rapuh, bukan berarti kamu gagal. Kadang, yang kamu butuh cuma pelukan dari semesta—yang bisa datang lewat tulisan ini, atau lewat seseorang yang nanti Tuhan kirimkan. Jadi… pelan-pelan aja, ya. Kita nggak perlu selalu kuat. Tapi kita bisa saling menjaga, saling menemani, saling doakan. Dan itu… lebih dari cukup.

Untuk kamu yang sedang berusaha berubah… yang diam-diam belajar jadi lebih baik, yang jatuh berkali-kali tapi nggak pernah benar-benar berhenti, yang masih merasa “belum cukup baik” padahal hatinya terus ingin mendekat… Terima kasih, ya, sudah bertahan sejauh ini.

Nggak semua orang tahu betapa beratnya kamu menjaga hati di tengah godaan. Nggak semua orang tahu betapa sering kamu ingin menyerah. Tapi kamu tetap di sini—berusaha. Sekecil apa pun langkahnya. Dan itu sudah sangat berarti.

Hijrah itu bukan tentang siapa yang paling cepat sampai. Bukan juga tentang siapa yang paling terlihat berubah. Hijrah itu tentang siapa yang tetap mau melangkah, meski tertatih. Tentang siapa yang masih percaya, bahwa Allah tak pernah menutup pintu-Nya.

Kalau kamu masih jatuh ke kesalahan yang sama, jangan benci dirimu. Kalau kamu masih sedih karena belum bisa konsisten, jangan caci dirimu. Kamu sedang belajar. Dan belajar memang nggak selalu langsung berhasil. Biarkan proses ini membentuk kamu pelan-pelan. Biarkan waktumu berirama dengan jiwamu sendiri. Kamu nggak harus menjadi seperti siapa pun. Cukup jadi kamu—yang terus mencoba, meski semesta kadang tak memudahkan.

Dan kalau suatu hari kamu merasa dunia terlalu bising untuk menampung langkah kecilmu, ingat: Tuhan tidak pernah menuntut kamu jadi sempurna. Dia hanya ingin kamu jujur. Tulus. Dan terus kembali.

Jadi, untuk kamu yang sedang berhijrah pelan-pelan: Tenang, kamu di jalan yang benar. Tak perlu buru-buru. Tak perlu takut tertinggal. Allah tahu kamu sedang berjuang. Dan Dia Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya yang lelah tapi tak berhenti.

Semoga kita semua, kelak, sampai. Dengan versi terbaik dari diri kita—meski datang paling terakhir. Karena dalam pandangan-Nya, yang lambat tapi jujur… tetap lebih indah dari yang cepat tapi palsu. (*)

Berita Populer