Kubu Raya (19/4/2025) – Ramadhan bukan sekadar bulan penuh ampunan, melainkan juga momentum untuk memperbaiki diri dan memperluas kepedulian sosial. Salah satu indikator keberhasilan Ramadhan bukan hanya seberapa banyak amal yang dilakukan, tapi sejauh mana hati menjadi ringan untuk berbagi.
Khutbah Jum’at kali ini, yang disampaikan oleh Ustadz Akbar Syukrian, mengangkat tema “Mudah Berbagi Tanda Suksesnya Ramadhan”. Dapat dijadikan sebagai pengingat bahwa keberkahan Ramadhan seharusnya melahirkan pribadi yang dermawan, peka terhadap sesama, dan terus membawa semangat berbagi bahkan setelah bulan suci berlalu.
Simak teks khutbah lengkapnya berikut ini:
Khutbah Jum’at
Mudah Berbagi Tanda Suksesnya Ramadhan
Oleh : Ust. Akbar Syukrian
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪَ ﻟِﻠﻪِ ﻧَﺤْﻤَﺪُﻩُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻌِﻴْﻨُﻪُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻩْ ﻭَﻧَﻌُﻮﺫُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻣِﻦْ ﺷُﺮُﻭْﺭِ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻨَﺎ ﻭَﻣِﻦْ ﺳَﻴِّﺌَﺎﺕِ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟِﻨَﺎ، ﻣَﻦْ ﻳَﻬْﺪِﻩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﻼَ ﻣُﻀِﻞَّ ﻟَﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻀْﻠِﻞْ ﻓَﻼَ ﻫَﺎﺩِﻱَ ﻟَﻪُ. ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻭَﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. فَيَا عِبَادَ اللّٰه، أُوْصِيْنِيِ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللّٰه، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. وَقَالَ تَعَالَى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صَدَقَ اللّٰهُ الْعَظِيمْ.
Jama’ah Shalat Jumat yang dirahmati Allah
Sudah entah berapa kali kaki ini melangkah menuju rumah Allah, memenuhi panggilan suci setiap hari Jumat. Masjid menjadi saksi, dari waktu ke waktu, dari pekan ke pekan, dari tahun ke tahun, kita hadir, duduk, mendengarkan, dan pulang. Namun, adakah pesan-pesan dari mimbar itu benar-benar meresap ke dalam hati kita? Sebab kalimat-kalimat yang dilantunkan para khatib, dari dulu hingga kini, tak banyak berubah: ajakan untuk mendekat kepada Allah, seruan agar kita hidup dalam keimanan dan ketakwaan yang sejati.
Tetapi, apakah kita sungguh-sungguh menghayatinya?
Saudaraku, kemuliaan seorang insan bukanlah pada pangkat yang menjulang, jabatan yang gemilang, atau kekayaan yang menumpuk. Bukan pula pada rumah mewah, kendaraan berderet, atau rupa yang menawan. Nilai sejati seorang hamba tidak diukur dari apa yang tampak di mata manusia, melainkan dari kedalaman hatinya yang terpaut kepada Allah. Itulah takaran kemuliaan yang hakiki. Firman Allah SWT telah jelas menegaskan, “Inna akramakum ‘indallahi atqakum”. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa.” Mari kita renungkan kembali pesan ini. Sudahkah kita benar-benar mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari? Sudahkah kita menjadikan ketakwaan sebagai landasan setiap langkah yang kita ambil? Atau jangan-jangan, kita hanya menghadiri Jum’at demi Jum’at sekadar rutinitas tanpa perubahan?
Maasyiral Muslimin Rahimakumullah !
Hampir tiga pekan ramadhan pergi meninggalkan kita, Dahulu para salafus shalih, enam bulan lamanya mereka memanjatkan doa, berharap Allah pertemukan mereka dengan Ramadhan berikutnya. Dan setelah Ramadhan usai, enam bulan pula mereka menundukkan kepala dalam duka, memohon kepada Allah agar amal mereka diterima. Karena mereka sadar, belum tentu Ramadhan berikutnya akan menjadi milik mereka kembali.
Harapan dan doa kita sama, semoga kita dapat bertemu dengan ramadhan berikutnya, namun jika takdir Allah mengatakan kemarin adalah ramadhan kita yang terakhir, maka semoga Allah menerima semua amaliyah ramadhan kita dan menjadikan ramadhan kemarin menjadi ramadhan terbaik yang pernah kita jalani.
Jama’ah sidang Jum’at yang berbahagia !
Sudah kita ketahui bersama bahwa, tujuan utama puasa ramadhan adalah menjadikan kita semua sebagai hamba yang bertakwa, sebagaimana firman Allah SWT dalam al Qur’an surah al-Baqarah ayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S al-Baqarah : 183)
Ayat ini menjadi pondasi spiritual kita dalam menjalani ibadah puasa, bahwa yang dicari bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, bukan hanya mengatur pola makan dari sahur hingga maghrib. Lebih dari itu, Allah ingin hati kita terdidik, akhlak kita tertata, dan jiwa kita dibersihkan sehingga lahirlah pribadi yang bertakwa.
Takwa, sebagaimana dijelaskan para ulama, bukan hanya sekadar rasa takut kepada Allah. Tetapi sebuah kondisi ruhani yang melahirkan kesadaran penuh akan pengawasan-Nya. Takwa menjadikan kita jujur meski tak ada yang melihat, amanah meski tak ada yang mengawasi, mudah berbagi kala tidak ada yang meminta dan sabar dalam menghadapi ujian hidup yang penuh gelombang.
Tentu kita bertanya dalam benak kita, seperti apakah ciri orang bertakwa yang dimaksud?, apa saja amalan amalannya? dan apa yang seharusnya kita lakukan untuk meraih predikat takwa?. Ciri ciri orang bertakwa secara gamblang dijelaskan kembali di dalam al-Qur’an, di dalam surah ali-’Imran ayat 133 – 134 :
وَسَارِعُوْا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ. (آل عمران: 133)
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Ali Imran: 133-134).
Orang yang bertakwa itu, mereka (saari’uu) bergegas, bersegera, bergerak, tidak kaku, dinamis, maju kedepan, apa yang dilakukan? yaitu meraih ampunan dan surga Nya Allah demi kebahagian dunia dan akhirat. Kemudian siapakah orang- orang bertakwa yang dimaksud? Ada tiga perkara pada ayat berikut nya yang menjadi tonggak amalan orang orang yang bertakwa :
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِي السَرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ المُحْسِنِيْنَ. (آل عمران: 134)
Artinya : “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (ali-’Imran : 134)
Sangat jelas bahwa salah satu ciri orang yang bertaqwa adalah orang yang mudah berbagi (mengeluarkan hartanya untuk kebaikan) baik kala ia di waktu lapang, maupun di waktu sempit. ini menunjukkan bahwa ketakwaan tidak hanya tampak dari ritual ibadah semata, tetapi nyata dalam tindakan sosial. Orang yang bertakwa tidak menunggu kaya untuk memberi. Ia tidak menunggu berlimpah harta untuk membantu sesama. Ia memberi, sebab ia yakin bahwa yang dititipkan Allah padanya hanyalah sarana untuk menebar manfaat, bukan untuk disimpan semata-mata.
Maka tak heran jika kita melihat para sahabat Rasulullah ﷺ adalah orang-orang yang sangat dermawan, meskipun sebagian dari mereka hidup dalam kondisi yang sangat sederhana. Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, pernah menyerahkan seluruh hartanya untuk perjuangan Islam. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu memberikan separuh dari hartanya. Bahkan ada di antara para sahabat yang menangis bukan karena tidak punya apa-apa, tapi karena tak mampu ikut membantu kaum muslimin yang tengah berjuang di jalan Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
Artinya : “Sedekah tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim)
Hadis ini bukan sekadar janji, tapi hakikat. Sebab setiap rupiah yang dikeluarkan di jalan Allah adalah investasi abadi yang akan kembali berlipat ganda, baik di dunia maupun di akhirat.
Maka jika setelah Ramadhan hati kita terasa lebih ringan untuk memberi, lebih cepat untuk peduli, lebih sensitif pada penderitaan sesama, itu tanda bahwa Ramadhan telah membekas dalam jiwa. Namun jika kita kembali menjadi pribadi yang kikir, enggan berbagi, bahkan pelit terhadap kebaikan, maka perlu kita renungi: benarkah kita telah menjalani Ramadhan dengan benar?
Ketakwaan sejati tidak berhenti di atas sajadah. Ia bukan sekadar jumlah rakaat dalam malam-malam sunyi, bukan semata lantunan dzikir dan doa panjang yang lirih dalam keheningan. Ia adalah cerminan kasih dalam tindakan. Ia harus mengalir, tidak kaku, tidak stagnan, tidak hanya vertikal menuju langit, tapi juga horizontal, menyentuh bumi, menyentuh manusia, menyentuh sesama.
Ia harus sampai ke dapur tetangga yang tak berasap, tempat ibu-ibu menanak air karena tak ada beras untuk dimasak. Ia harus hadir di rumah anak-anak yatim, di pesantren-pesantren tahfizh yang tidur dengan pelukan udara dingin karena tak punya selimut, yang belajar dengan perut kosong dan mata berbinar berharap, ada satu tangan yang menggandeng mereka. Ia harus mengalir ke perut-perut yang kelaparan, ke tubuh-tubuh renta yang tergolek lemah, ke bilik bilik rumah sakit umum, ke tangan-tangan yang tak mampu lagi mengais nafkah.
Inilah yang disebut kesalehan sosial. Sebuah bentuk ibadah yang tidak terucap dalam lafaz, tapi terasa dalam kepedulian. Ia tidak terlihat dalam sujud panjang, tapi terlihat dalam senyum anak-anak yatim yang merasa diperhatikan. Ia tidak sekadar tertulis di buku amal, tapi terpatri di hati orang-orang yang terbantu. Kesalehan sosial adalah jantung dari masyarakat yang diridhai Allah.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam ath-Thabrani, Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Artinya : “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Cukup satu kalimat ini saja untuk menimbang seberapa besar ketakwaan kita telah berdampak. Sebab orang yang bertakwa tidak mungkin membiarkan dirinya kenyang sementara saudaranya kelaparan. Ia tidak bisa tenang dalam kenyamanan jika tahu ada tetangganya yang menahan derita. Ia gelisah tak karuan, ketika melihat saudaranya seorang musafir, kehabisan bekal.
Begitu pula Imam Hasan al-Bashri rahimahullah pernah berkata:
لَيْسَ تَقْوَى اللهِ بِصِيَامِ النَّهَارِ ، وَلاَ بِقِيَامِ اللَّيْلِ ، وَالتَّخْلِيْطِ فِيْمَا بَيْنَ ذَلِكَ ، وَلَكِنْ تَقْوَى اللهِ تَرْكُ مَا حَرَّمَ اللهُ ، وَأَدَاءُ مَا افْتَرَضَ اللهُ
Artinya : “Bukanlah takwa itu sekadar puasa di siang hari dan shalat di malam hari, dan mengerjakan kedua duanya, tapi takwa adalah meninggalkan apa yang Allah haramkan dan melaksanakan apa yang Allah wajibkan.”
Salah satu yang Allah wajibkan pada kita adalah kepedulian sosial, memperhatikan yang lemah, membela yang tertindas, dan menyantuni yang kekurangan.
Sebagai penutup khutbah pada kesempatan siang ini, dan merujuk pada ayat yang kami bacakan diatas, bahwa salah satu barometer seorang mu’min sukses melewati ujian pembelajaran di madrasah ramadhan adalah ia semakin mudah untuk berbagi, semakin bertambah kedermawanannya. Karena hal yang disebutkan pertama kali pada ayat tersebut adalah tentang harta (yunfiquuna fissarai …). Mampu berbagi dengan siapa saja dan dalam keadaan apapun.
Saudaraku, jika setelah Ramadhan kita masih sulit memberi, masih enggan menyapa mereka yang kesulitan, masih menutup telinga dari jeritan sesama, maka kita perlu bertanya: Apakah benar Ramadhan telah menyucikan hati kita? Apakah benar taqwa telah tumbuh dalam dada kita?
Ramadhan mengajarkan kita rasa lapar, bukan hanya agar kita tahu nikmatnya makanan, tapi agar kita tahu perihnya kemiskinan. Ia mengajarkan kita keheningan, bukan agar kita merasa khusyuk sendirian, tapi agar kita punya waktu merenung dan merasakan tangis orang lain.
Maka, janganlah kita menjadi hamba yang puas dengan kesalehan yang hanya kita nikmati sendiri. Sebab Allah tidak menilai banyaknya ibadah saja, tapi juga sejauh mana kita mampu membawa manfaat kepada dunia. Itulah makna rahmatan lil ‘alamin, menjadi rahmat, menjadi cahaya, menjadi uluran tangan, menjadi harapan untuk orang banyak. Dan perlu kita resapi bersama bahwa kepedulian sosial juga bagian dari nilai luhur ajaran Islam, jangan kita merasa cukup dengan soleh pribadi kepada Allah tapi seakan lupa kepada lingkungan sekitarnya.
Semoga kita termasuk di antara mereka yang menjadikan Ramadhan bukan hanya sebagai penghapus dosa, tapi juga sebagai titik balik menuju kehidupan yang lebih peduli, lebih dermawan, dan lebih manusiawi.