
masjidkapalmunzalan.id – Di halaman Istana Merdeka, Jakarta, 17 Agustus 2025, Merah Putih berkibar tinggi diiringi suara sang saka yang khidmat. Di balik kesakralan itu, ada detail budaya yang mencuri makna: Presiden Prabowo Subianto, inspektur upacara, berdiri tegak dengan tanjak Melayu berwarna biru keperakan di kepalanya.
Dalam adat Riau, kain penutup kepala yang dikenakan Presiden dikenal sebagai Tanjak Putra Kayangan. Bentuknya anggun, lipatannya halus, simbol kemuliaan, keluhuran, dan kebangsawanan. Di panggung tertinggi republik, budaya Melayu yang lama termarginalkan tiba-tiba menjulang kembali, diberi ruang dalam perayaan kemerdekaan.
Kebanggaan itu semakin hidup ketika seorang bocah dari Kuantan Singingi, Rayyan Arkan Dhika, tampil pula di Istana. Dengan lincah ia membawakan tarian Togak Luan dari tradisi pacu jalur. Geraknya jenaka, segar, hingga membuat para pejabat, bahkan presiden, ikut bertepuk tangan. Nama Rayyan viral. Dari tubuh mungilnya, kebudayaan Melayu menunjukkan bahwa ia bukan masa lalu, tetapi warisan yang bisa menghibur, menyatukan, bahkan — semoga— menyembuhkan.
Pada saat yang sama, sekitar enam ratus kilometer dari Jakarta, di kaki Gunung Merbabu, Jawa Tengah, sebuah upacara kemerdekaan berlangsung tak kalah khidmat. Tempatnya sederhana: areal ruas jalan yang diberi nama Tol Kahyangan.
Di sana, yang menjadi inspektur adalah Ustaz Abdul Somad. Dai kharismatik asal Riau itu hadir dengan balutan Tanjak Laksamana. Berbeda dengan Putera Kayangan yang melambangkan keluhuran, Laksamana adalah simbol keberanian dan kewibawaan seorang panglima. Lipatan tajam di depannya tegas, membumi, menyiratkan kepemimpinan yang berakar pada rakyat sekaligus berpijak pada nilai agama.
Pertemuan simbolik ini menjadi penting karena kita baru saja melewati periode penuh ketegangan antara negara dan umat Islam. Di era Presiden sebelumnya, hubungan itu kerap retak. Kasus tewasnya enam anggota Front Pembela Islam di KM 50, misalnya, menyisakan luka. Begitu pula pemenjaraan sejumlah pendakwah, yang di mata banyak kalangan memperlebar jarak antara negara dan umat.
Ingatan kolektif itu masih kuat. Rasa tidak percaya, rasa ditinggalkan, rasa bahwa suara umat sering kali tidak didengar. Karena itu, ketika dua tanjak—yang satu melambangkan keluhuran negara, dan yang lain keberanian ulama—berdiri di bawah kibaran Merah Putih, terselip harapan baru: semoga yang luhur sudi membumi, dan yang membumi diberi tempat untuk didengar.
Tanjak bukan senata lipatan kain di kepala. Sejak berabad-abad lalu, ia menjadi penanda martabat dalam budaya Melayu. Ada tanjak untuk bangsawan, ada pula untuk panglima. Ada lipatan yang melambangkan kelembutan budi, ada pula yang melambangkan keberanian di medan laga.
Putera Kayangan dengan lengkung anggun menandakan sesuatu yang luhur, tinggi, seakan dari dunia atas. Laksamana dengan ketegasannya adalah penanda keberanian, kewibawaan yang berpijak di bumi. Keduanya melambangkan dua sisi kepemimpinan yang ideal: visi yang melangit, sekaligus keberanian yang membumi.
Kini, di usia 80 tahun kemerdekaan, Indonesia seolah diberi pesan lewat dua tanjak itu. Bahwa negara memerlukan keseimbangan: yang luhur tak boleh melayang terlalu jauh dari bumi, dan yang membumi jangan dizalimi dalam ruang arus besar kebijakan.
Ulama dan umara, yang kerap renggang, diingatkan kembali akan kemungkinan mesra. Seperti kayangan dan bumi yang bertemu di horizon, keduanya bisa berpadu, menyatukan visi dan moral, kebijakan dan akhlak, kekuasaan dan kebijaksanaan.
Dan mungkin, itulah makna terdalam dari tanjak-tanjak di bawah Merah Putih: sebuah janji bahwa bangsa ini bisa lebih padu bila pemimpin dan ulama berjalan bersama. (ramon)