Saprahan bersama 500 Santri, Meriahkan Ramah Tamah IBS Sambas 2025

Bagikan :
SAPRAHAN – Suasana hangat ramah tamah Saprahan bersama KH. Luqmanulhakim, jajaran MKMI, dan Forkopimda Kabupaten Sambas pada ramah tamah Indonesia Bahagiakan Santri pada Jumat (25/7) malam. (Foto: Chairul Rijal Fitriandi)

Penulis Chairul Rijal Fitriandi | Editor Chairul Rijal Fitriandi

masjidkapalmunzalan.id – Setelah rangkaian perlombaan dalam agenda Indonesia Bahagiakan Santri (IBS) Sambas 2025 selesai dilaksanakan, pada Jumat (25/7) malam digelar acara ramah tamah Saprahan bersama sekitar 500 santri dari seluruh Kalimantan Barat. Acara ini turut dihadiri oleh Pengasuh Masjid Kapal Munzalan Indonesia (MKMI), KH. Luqmanulhakim (Ayahman) beserta jajaran Pengurus Pusat MKMI, Asisten I Bupati Sambas Yudi, S.Sos., M.Si., Forkopimda Kabupaten Sambas, KUA Kecamatan Sambas, serta para tamu undangan lainnya.

Dalam sambutan awalnya, Wakil Pengasuh Cabang Sambas, Luthfi Zulkid, menyampaikan bahwa seluruh kegiatan lomba santri telah berjalan lancar. Ia juga memohon maaf atas segala kekurangan dalam penyambutan dan pelaksanaan kegiatan menjelang puncak acara IBS.

Sementara itu, Asisten I Bupati Sambas, Yudi, S.Sos., M.Si., dalam sambutannya memberikan apresiasi tinggi kepada panitia pelaksana atas suksesnya kegiatan IBS Sambas. Menurutnya, IBS tidak hanya memberikan kebahagiaan kepada para santri, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat Sambas. “Kegiatan ini memiliki multi effect layer, banyak manfaat yang dapat dirasakan oleh berbagai pihak,” ujarnya. Ia juga menyampaikan harapannya agar daerah Sambas dapat kembali menjadi “Serambi Mekah” Kalimantan Barat, dengan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan positif seperti yang diinisiasi oleh MKMI.

Pada sesi penutup, KH. Luqmanulhakim (Ayahman) memberikan petuah penuh hikmah. Dalam tausiyahnya, beliau menceritakan perjalanan inspiratifnya saat menuntut ilmu di pondok pesantren, termasuk kisah pondok yang santri-santrinya memiliki kebutuhan khusus. Dari cerita tersebut, Ayahman menekankan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berbuat kebaikan. Di akhir tausiyah, beliau juga menjelaskan perbedaan antara program Sedekah Akbar Indonesia dan Indonesia Bahagiakan Santri (IBS).

Acara ramah tamah Saprahan ini menjadi bagian rangkaian kegiatan IBS Sambas 2025, meninggalkan kesan mendalam bagi para santri maupun masyarakat yang hadir.

MOMEN – Ratusan santri se-Kalbar menikmati momen kebersamaan dalam acara Saprahan Ramah Tamah Indonesia Bahagiakan Santri Sambas 2025. (Foto. Chairul Rijal Fitriandi)

Apa Itu Saprahan ?

Saprah sendiri artinya ‘berhampar, yakni budaya makan bersama dengan cara lesehan atau bersila secara berkelompok dalam satu barisan. Biasanya satu kelompok terdiri dari enam orang yang duduk saling berhadapan sebagai suatu kebersamaan. Pada prinsipnya tradisi saprahan adalah tradisi adat rumpun Kerajaan Melayu, termasuk di Sambas. Tradisi ini juga berlaku di Pontianak, Singkawang, Mempawah, atau daerah lain yang masih kental budaya Melayu.

Berkaitan dengan tata cara makan, tidak ada aturan tertulis untuk tata cara makannya, menghidang, dan menu hidangan yang sedianya disajikan, tetapi tetap ada etika dan kekhasan yang dijaga. Khusus saprahan di Sambas, sajian saprahan tetap ada menu nasi sebagai menu utama. Selain menu utama itu, terdapat lauk-pauk sapi, ikan, dan sayur-mayur.

Biasanya, saprahan diadakan ketika ada acara pernikahan, syukuran, atau selamatan maupun tahlilan. Tamu yang hadir di acara saprahan biasanya diundang oleh yang punya hajat, atau tetua kampung secara lisan. Mereka mengistilahkan dengan ‘nyaro’. Asal kata ‘nyaro’ berasal dari kata saroan yang artinya memanggil atau mengundang.

Memang budaya sudah semakin maju, termasuk adanya media komunikasi melalui ponsel. Bisa jadi undangan pun sudah menggunakan media ini. Namun, di kampung dagang timur Sambas, yakni sebuah kampung yang berada di sisi kiri Sungai Sambas, Kota Sambas, tradisi ‘nyaro’ itu masih kuat sekali. Demikian pula yang ditemui hampir di semua daerah pantai utara terutama di desa-desa, dusun, atau perkampungan di Sambas.

Sebagai sebuah tradisi, Saprahan yang berupa jamuan makan yang melibatkan banyak orang dan duduk dalam satu barisan, saling berhadap-hadapan, serta duduk satu kebersamaan, tentu mengingatkan kita pada filosofi “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” atau “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”.

Filosofi itu tepat untuk menggambarkan kebersamaan dan semangat gotong-royong masyarakat Sambas yang hingga kini masih terjaga dengan baik. Ya hidangan yang tersaji akan disantap bersama-sama kelompok, membentuk seperti lingkaran bola, atau memanjang dalam persegi panjang dan tidak terputus. Menariknya lagi sajian yang disantap tidak menggunakan sendok, tetapi menggunakan tangan (disuap). Sedangkan untuk mengambil lauk-pauknya dilakukan menggunakan sendok. (**)

Berita Populer