InsyaAllah, Bukan Menolak Secara Halus!!! Ini Makna Sebenarnya!!

Bagikan :

Gambar : AI Generated

Mengembalikan Kehormatan Kata yang Mulia (Makna Sebenarnya Kata InsyaAllah)

Setiap hari, mungkin ada jutaan Muslim yang mengucapkan kata ini.
Bahkan mungkin kita sendiri telah melafalkannya berkali-kali hari ini,
“InsyaAllah”.

Kata ini terdengar ringan. Sopan. Penuh harap. Tapi juga… sekarang… seolah jadi “ambigu”.
Kadang ia berarti: “Saya akan datang.”
Terkadang berarti: “Saya tidak janji, tapi jangan marah kalau saya tidak hadir.”

Kadang juga : “Saya mau menolak, tapi Saya ga enak”,
Kadang malah jadi cara paling halus untuk berkata: “Sepertinya tidak, tapi saya malas menjelaskannya.”

InsyaAllah: Antara Keikhlasan dan Kebiasaan

Kita mungkin tak sadar, tapi perlahan masyarakat kita menjadikan InsyaAllah sebagai jalan keluar dari ketegasan.
Tak mau bilang “tidak”, kita ucapkan InsyaAllah.
Tak yakin bisa, tapi enggan memberi kejelasan, maka kita tutup dengan InsyaAllah.
Padahal sejatinya, kata ini lahir dari niat yang sangat serius.

InsyaAllah bukanlah “kalau sempat”, tapi “aku akan lakukan, dan jika Allah menghendaki, pasti terjadi.”

Kata yang Menyebut Nama Allah, Tapi Kadang Disalahgunakan

Pernahkah kita sadar, bahwa saat mengucapkan InsyaAllah, kita sedang membawa serta nama Allah dalam janji kita?
Lalu jika ternyata kita tidak datang, tidak menjelaskan, dan tidak merasa bersalah, bukankah itu artinya kita telah mengaitkan nama Allah pada sesuatu yang kita sendiri tak niat menepatinya?

Ini bukan soal kata yang ringan, tapi soal kehormatan dan kejujuran.
Apalagi ketika diulang terus-menerus, maka tak heran jika masyarakat mulai menganggap:

“Kalau orang bilang ‘InsyaAllah’, berarti belum tentu.”

Sebuah persepsi yang amat menyedihkan, dan harus kita ubah bersama.

Sang Rasul Pernah Diingatkan Soal Ini

Mungkin di antara kita ada yang bertanya,
“Memangnya seberat itu? Sampai perlu diatur dalam Al-Qur’an?”

Pertanyaan itu wajar. Dan jawabannya ternyata: Iya.
Bahkan Rasulullah ﷺ, seorang Nabi dan Rasul yang jujur dan terpercaya, pernah ditegur Allah karena luput menyertakan kalimat ini dalam janjinya.

Saat itu, beliau berjanji akan menjawab pertanyaan kaum Quraisy esok hari. Tapi dalam ucapannya, beliau tak mengikutkan asma Allah. Maka turunlah wahyu:

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakannya besok pagi,’ kecuali (dengan menambahkan), ‘InsyaAllah’.”(QS. Al-Kahfi: 23–24)

Dapat dipastikan, ayat ini bukan sekadar pengingat untuk Nabi, tapi untuk kita semua.
Bahwa setinggi apa pun niat kita, tetaplah kita makhluk yang terbatas.
Bahwa janji, betapapun kita yakin bisa menepatinya, masih harus direndahkan dalam kerangka tauhid, bahwa hanya Allah yang Maha Menentukan.

Bukan Formalitas, Tapi Tauhid dalam Praktik

Tentu, sudah baik jika kita selalu menyisipkan kata InsyaAllah dalam keseharian kita, karena pun ini merupakan pengamalan dari perintah yang ada dalam Al-Quran, yang secara literal InsyaAllah berarti “jika Allah menghendaki”, namun sudah tentu pula perlu lebih menyesuaikan dengan makna serta fungsi sesungguhnya.

Dalam Tafsir Al-Qurthubi, ayat di atas dijelaskan sebagai adab berjanji bagi manusia.
Bukan hanya agar terdengar Islami, tapi sebagai bentuk kesadaran tauhid yang hidup dalam keseharian

InsyaAllah, juga dapat dimaknai sebagai wujud tawakal buah dari tauhid, sadar akan kapasitas diri sebagai manusia hanya mampu merencanakan, tetapi sang Ilahi sebagai penentu akhir penentu kepastian. Namun ini perlu dibarengi dengan keyakinan dan usaha yang sepadan, setelah diri yakin, barulah menyertakan asma-Nya, tanda berserah pada-Nya.

Maka, kata ini hanya bernilai jika ia muncul dari niat dan kesungguhan, bukan keraguan atau kepalsuan.

Lalu, Bagaimana Seharusnya?

Jujur sejak awal. Itu kuncinya.

Kalau memang belum bisa berkomitmen, ucapkan saja:

“Aku belum bisa janji ya. Tapi kalau bisa, aku kabari.”

Dan jika kita sudah berniat hadir, sudah punya kesiapan untuk menepatinya,
barulah ucapkan:

InsyaAllah, aku akan datang.”

Kalimat itu akan terasa lebih bermakna jika datang dari lisan yang sadar, dari hati yang berserah, dan dari jiwa yang tahu bahwa manusia bisa gagal, tapi Allah tak pernah salah.

Mari Kita Kembalikan Kehormatan “InsyaAllah”

Kata ini terlalu suci untuk dijadikan pelarian.
Terlalu agung untuk dijadikan pembungkus dari ketidaktegasan.

Mari kita jaga InsyaAllah tetap hidup dalam semangat aslinya:
sebuah janji yang rendah hati, dan niat yang tulus.
Karena dalam setiap InsyaAllah yang kita ucapkan, terselip nama Allah.
Dan itu, ialah hal yang sangat besar nan agung.

 

Doa 

Ya Allah, bimbing lisan kami agar menyertakan  nama-Mu dalam suatu keperluan dengan niat yang jujur.
Jadikan setiap janji kami sebagai bentuk ibadah, dan setiap “InsyaAllah” sebagai bukti keyakinan, bukan alasan untuk menghindar.
Aamiin.

 

Referensi:

  1. QS. Al-Kahfi: 23–24 Larangan membuat janji tanpa menyertakan kehendak Allah. https://quran.com/id/para-penghuni-gua/23-24
  2. Tafsir Al-Qurthubi. Jilid 10. hal: 971. Penjelasan adab berjanji dan makna spiritual dari InsyaAllah. https://ia903106.us.archive.org/22/items/etaoin/Tafsir%20Qurthubi%2010.pdf
  3. Madarij As-Salikin – Ibnul Qayyim
    Penekanan bahwa InsyaAllah (dalam konteks ini berserah diri sebagai wujud tawakal) harus datang bersama setelah usaha dan tekad, baru bisa disebut tawakal.
    https://staibabussalamsula.ac.id/wp-content/uploads/2023/12/Madarijus-Salikin-Pendakian-Menuju-Allah.pdf. (Penjelasan tentang tawakkal, dimulai dari halaman 231)
  4. HR. Bukhari dan Muslim
    Tanda orang munafik adalah jika berjanji, ia mengingkari.
    https://rumaysho.com/25293-lima-ciri-munafik-hadits-jamiul-ulum-wal-hikam-48.html
  5. Jangan Katakan Pasti Bisa. https://jateng.nu.or.id/taushiyah/jangan-katakan-pasti-bisa-mMR4E
  6. Makna Kata InsyaAllah yang Sering Disalahpahami. https://lampung.nu.or.id/syiar/makna-kata-insyaallah-yang-sering-disalahpahami-GKkQ0

 

 

 

Berita Populer