Kubu Raya, (18/1/2025) – Pagi itu, matahari baru saja muncul dari balik bukit, mengintip malu-malu melalui jendela rumah Andri. Udara dingin masih melekat di dinding, tapi aroma nasi goreng yang baru matang langsung membuat suasana hangat.
Di meja makan, Andri sudah duduk dengan kemeja rapi, dasi yang sedikit miring, dan wajah yang setengah mengantuk. Ibunya, Bu Siti, sibuk menyeruput teh hangat dalam gelas dengan gagang berbentuk melengkung seperti kuping gajah, lalu tiba-tiba duduk di sebelah Andri dengan ponsel di tangan.
“Nak, kamu harus lihat ini,” katanya dengan mata berbinar.
Andri melirik, setengah penasaran setengah waspada. Ibunya sering terpesona oleh hal-hal aneh di internet, dan kali ini bukan pengecualian. Dengan pelan, ia meraih ponsel itu. Video berjudul besar, “Rahasia Herbal Penyembuh Semua Penyakit” berputar di layar. Musik latar yang dramatis mendukung narasi penuh klaim bombastis. Andri mendengus kecil.
“Bu, ini nggak masuk akal,” katanya sambil mengembalikan ponsel. “Banyak banget berita kayak gini yang ternyata cuma hoaks.”
Bu Siti menatapnya, kecewa. “Tapi ini jelas kok, Nak. Banyak yang nge-share, nggak mungkin salah semuanya.”
“Justru itu masalahnya, Bu,” sahut Andri, nadanya mulai naik. “Orang nge-share tanpa cek fakta dulu. Ini bisa bahaya, Bu.”
“Kamu tuh selalu nggak percaya sama Ibu,” balas Bu Siti, suaranya meninggi.
Perdebatan kecil berubah menjadi adu argumen sengit. Andri mencoba menjelaskan logika, sedangkan Bu Siti merasa pandangannya diremehkan. Di tengah perdebatan, Andri melirik jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat.
“Aduh, Bu, aku harus pergi,” katanya sambil berdiri. Piring dan gelas masih berantakan di meja makan, tapi ia tak punya waktu untuk membereskannya. Dengan perasaan campur aduk, ia melangkah keluar. Sepanjang jalan menuju motornya, Andri merasa bersalah, niatnya hanya ingin melindungi Ibunya dari informasi palsu, tapi nada bicaranya tadi jelas bukan solusi.
Andri melaju di jalanan yang mulai ramai, ditemani orkestra kacau klakson dan deru mesin kendaraan. Ia berusaha fokus, meski detik-detik terus mengejarnya seperti alarm yang lupa dimatikan. Tapi, nasib punya rencana lain. Di sebuah tikungan, lubang kecil yang tersembunyi di antara bayangan pohon menunggu seperti jebakan tikus. Roda depan motornya terpeleset, dan dalam satu kedipan mata, kendalinya hilang.
Tubuh Andri melayang sesaat sebelum bersentuhan dengan aspal, keras dan tanpa kompromi. Wajahnya mencium permukaan jalan terlebih dulu, tetapi helmnya setia melindungi, meski mengeluarkan suara retak halus yang cukup membuat bulu kuduk meremang. Ia terguling ke pinggir jalan dengan gerakan tak terkendali. Darah mulai merembes tipis dari hidungnya, sementara nyeri menjalar liar dari lutut hingga bahu, seperti alarm tubuh yang berteriak “Berhenti! Kamu terlalu rapuh untuk ini.”
Beberapa warga mulai berkerumun di sekitar Andri, wajah mereka campuran antara penasaran dan panik. Seorang Polisi yang kebetulan sedang berpatroli segera menguasai situasi. “Jangan panik, beri ruang,” katanya, suaranya tenang tapi penuh otoritas. Ia langsung menghubungi ambulans.
Andri terbaring di trotoar, tubuhnya seperti enggan diajak kompromi. Ia mencoba bangkit, tapi nyeri di seluruh tubuh memaksanya menyerah, jangankan untuk berdiri, tubuhnya berasa kaku tak mampu bahkan sekedar untuk jongkok, mungkin karena syok.
Meringis, ia hanya bisa mengamati kakinya yang terluka dan serpihan motornya yang berserakan di kejauhan. Kaca spion pecah berserak seperti puzzle yang tak ingin disatukan lagi. Bodi motor sampai knalpot penuh goresan, sementara pegangan besi belakangnya patah menjadi beberapa bagian, seolah menjadi monumen kecil betapa kerasnya motornya terhempas dalam tragedi pagi itu.
“Tenang, Mas, ambulans sebentar lagi sampai,” ujar Polisi sambil mengecek kondisi Andri, memastikan ia tetap sadar.
Di rumah sakit, perawat segera membersihkan lukanya. Polisi yang menangani kecelakaan menghubungi Bu Siti. Tak lama kemudian, Ibunya datang tergesa, wajahnya penuh air mata.
“Kamu gak apa-apa nak?” tanyanya berlari menuju tempat tidur dimana Andri berbaring, kemudian langsung berupaya memeluk Andri. Suaranya gemetar, sambil berkaca-kaca matanya mencari-cari tanda bahaya di tubuh anaknya.
Andri dengan lemah. “Aku gak apa-apa, Bu. Cuma Luka kecil”, katanya, meski rasa sakit di tubuhnya belum sepenuhnya hilang.
Rontgen dilakukan untuk memastikan tidak ada cedera serius. Hasilnya, Andri beruntung. Tidak ada tulang yang retak atau luka dalam yang membahayakan. Luka lecet di lutut dan bahu hanya membutuhkan perawatan ringan.
“Maaf kan Ibu ya nak”, dengan lirih bu siti meminta maaf merasa bahwa ini salahnya.
“Aku yang harusnya minta maaf soal tadi pagi Bu” Andri menyadari maksud sang Ibu. “Aku gak seharusnya ngomong kasar sama Ibu.”
Bu Siti mengusap air matanya, tersenyum lega. “Ibu juga minta maaf. Ibu harusnya juga tak terbawa emosi.”
Di balik rasa nyeri yang menggigit dan aroma antiseptik yang memenuhi ruang, Andri merenung sambil menatap langit-langit. Pikirannya memutar ulang kejadian pagi tadi seperti film lama yang terjebak di adegan paling menyesakkan.
“Kadang, niat baik itu kayak helm,” gumamnya dalam hati. “Gak cukup cuma dipakai, tapi harus pas dan terpasang dengan benar. Kalau gak, malah bisa bikin celaka, syukurnya helmku tadi terpasang dengan pas.” Ia menghela napas pelan, menyesap hikmah yang tak pernah ia duga datang dari kecelakaan kecil ini.
Andri sadar, perasaan serbasalah yang ia bawa sejak meninggalkan rumah adalah penggerak utama kenapa ia tak fokus di jalan. Ucapannya dengan nada tinggi yang melukai Ibunya tadi pagi terus terngiang di kepalanya, seperti kaset rusak yang diputar berulang.
“Pesan yang baik pun harus disampaikan dengan cara yang baik,” batinnya lagi, menyadari bahwa meski maksudnya benar, cara penyampaiannya tadi jelas salah.
Ia melirik Bu Siti yang tengah mengelap wajahnya dengan tisu, raut khawatir di wajah wanita tua itu perlahan berubah lega. Andri tahu, dibalik semua rasa sakit dan drama pagi tadi, ada pelajaran besar yang tak kan ia lupakan. Di luar jendela rumah sakit, langit sore berubah merah seperti cat air yang tumpah, mengingatkan bahwa setiap hari Allah SWT selalu punya cara unik untuk mengajari manusia.