Gerakan Infak Beras (GIB) di Kalimantan Barat yang diinisiasi Ustadz Luqmanulhakim yang juga pimpinan sekaligus pengasuh Pondok Modern Munzalan Ashabul Yamin kini sudah menyebar ke berbagai daerah dan mampu menyalurkan 517 ton ke ribuan pondok pesantren setiap bulan.
Saat ini, dengan melibatkan dan digerakkan Pasukan Amal Sholeh (Paskas) GIB sudah berada di 23 provinsi di Indonesia. Paskas sendiri saat ini di bawah naungan bidang amal sholeh ekosistem Masjid Kapal Munzalan yang berada di gang sempit di tengah mayoritas permukiman non Muslimdi Kabupaten Kubu Raya, Kalbar.
Ustadz Luqmanulhakim menceritakan GIB dimulai pada 2012 lalu. Dasar gerakan yakni berfikir bahwa sedekah dalam skala besar di Pontianak atau bahkan Kalbar untuk anak yatim dan penghapal Al Qur’an belum ada.
Dengan hal itu, ia izin dan minta doa pada orang tua agar bisa berbuat banyak dan bermanfaat luas bagi umat. Orang tuanya sangat setuju dan mendukung. Kemudian ia menghubungi temannya, Ustadz Een untuk bergabung.
Momentum dan agenda pertama dirintis sehingga menjadi besar seperti saat ini yakni Sedekah Akbar. Ada 1.000 anak yatim yang disasar menjadi awal gerakan.
Gerakan yang ia jalankan tidak terlepas dari pedoman Al Qur’an yakni QS. Muhammad 47: Ayat 7
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong mu dan meneguhkan kedudukan mu.”
Agenda pertama pun sukses dijalankan. Hingga akhirnya sisa uang dari sedekah Akbar itulah yang akhirnya Ustadz Luqman dan rekan berempat kala itu berkeliling ke pondok pesantren. Layaknya gaya orang-orang berada dan kaya, mereka menanyai apa apa saja yang dibutuhkan di pondok pesantren, mulai dari kebutuhan air mereka buatkan sumur bor.
Pada saat itu masih kekal dalam ingatan Ustadz Lukmanulhakim bahwa pondok pertama yang didatangi adalah Mu’Tasin Billah Purnama di Kota Pontianak dan di sanalah ia bertemu dengan Ustadz Yahya.
Pondok yang masih berkisar 70- an santri dan dirintis dengan karpet, terpal, di sekelilingnya ditaburi garam agar tak ada ular yang masuk.
Pada saat itu UstadzYahya berkisah pada Ustadz Luqmanulhakim, kisah dua kakak beradik yang akhirnya menjadi tonggak awal GIB sesungguhnya.
Kisah penggugah
Kisah Ustadz Yahya, bahwa ada dua kakak beradik dengan usia 4,5 tahun dan 6 tahun yang yatim piatu karena ditinggal meninggal orang tua mereka kecelakaan. Hiduplah dengan kakeknya yang non Muslim, dan Ustadz Yahya dapat informasi bahwa dua anak ini mau dijual oleh kakeknya.
Akhirnya H-1 dua anak ini diselamatkan Ustadz Yahya dengan bantuan tetangga yang membantu, dengan kondisi tanpa baju karena memang dari dalam hutan dan upaya penyelamatan
Namun sayangnya adik mereka dengan usia 1,5 tahun telah dijual oleh kakeknya untuk membayar hutang judi dan bayi tersebut dijual dengan harga Rp1,5 juta.
Sehingga kakaknya ini mau melanjutkan untuk menjual cucunya kembali si dua kakak beradik ini namun, Alhamdulillah berhasil diselamatkan Ustadz Yahya.
Kisah itu yang akhirnya membuat otak Ustadz Luqmanulhakim kontraksi. Merasa banyak masalah tapi mendengar kisah tersebut yang akhirnya membuat ia sering bermain dan bertandang ke pondok UstadzYahya.
Kisah dimulai di sini, bagaimana ketika main ke pondok langsung ke dapur dan melihat beras untuk anak – anak yatim itu patah-patah, berkutu dan jauh dari kata layak dan berbau apek.
Ustadz Yahya menceritakan bahwa santri semakin banyak, tak semua anak-anak ini mampu bahkan sebagian besar gratis dan pihaknya menerima mereka apa adanya. Kalau membeli beras yang bagus, lauk tak ada.
“Saat itu pikiran dan otak saya tak ada mikir macam – macam hanya Bismillah minta doa untuk mencarikan beras untuk santri. Saya meminta Ustadz Yahya yang mengajar di pondok, saya dan teman- temannya mencarikan berasnya. Itu lah akhirnya jadi cikal bakal GIB yang semakin luas,” kata dia.
Perjuangan bersama dimulai
Bermula dari tiga pondok yang dibantu, dan yang paling berkesan adalah keceriaan santri pondok yang menjadi kebahagiaan bagi mereka.
Hal itu akhirnya menjadi motivasi dan semangat semua pihak untuk memberi beras bulanan pada santri di pondok pesantren dengan kualitas beras terbaik.
Perjuangan GIB semakin mendapat semangat besar. Bang Nur Hasan atau dikenal dengan Tok Ya menawarkan bahwa beliau memiliki Masjid Munzalan Mubarakan namanya, namun masih sepi. Sehingga meminta Ustadz Luqmanulhakim untuk menggarapnya, membesarkan dan istilahnya mengaktifkan fungsi masjid itu.
Ashabul Yamin yang tadinya hanya Ustadz Luqmanulhakim, sementara yang punya masjid Bang Nur Hasan akhirnya dilebur menjadi sebuah yayasan yang memayungi semuanya jadilah Pondok Moderen Munzalan Ashabul Yamin.
“Saya merasa saya perlu Allah,” ujar Ustadz Luqmanulhakim yang akhirnya disahuti oleh teman- temannya bahwa semua juga butuh Allah, mau gabung meski tanpa bayaran, tanpa gaji. Yang akhirnya diaminkan oleh mereka untuk berjuang dengan tenaga dan waktu.
Akhirnya,hadir lah bagian bagian multimedia hingga marketing agar gerakan ini mampu disebarkan kian lebar manfaatnya
Selanjutnya, berangkat dari buku Mustahil Miskin yang Ustadz Luqmanulhakim tulis akhirnya dakwah tak sekedar di Pontianak namun menyebar ke Indonesia.
“Saat itu juga lah saya mengajak orang lain untuk beramal soleh dan akhirnya terbentuk lah yang namanya Paskah dan kini sudah lebih di 37 titik di Indonesia ,” papar dia.
GIB lintas gerakan
Menarik dari GIB dari awal hingga kini dalam distribusi beras ke ponpes di lintas gerakan. Ponpes baik milik NU, Muhammadiyah dan digerakkan lintas trans nasional semua masuk. Hadirnya GIB mampu mengalirkan potensi besar dan memudahkan orang beramal untuk memberi makan anak yatim dan penghafal Al Qur’an di negeri ini.
Hingga Juli 2020, distribusi beras dari GIB telah menyasar di 63 kota di Indonesia dan sudah 2.635 pondok yang dibina atau lebih dari 182.348 yatim dan penghafal Al-Qur’an yang menikmati beras GIB. Sedangkan dari sisi relawan yang terlibat di GIB semakin bertambah dan saat ini di atas 2.600 orang yang tersebar di Indonesia. Ketika momen Idul Adha 1441 H menyalurkan 550 ekor kambing dan 65 ekor sapi.