
Sistem muamalah Islam, yang mengatur segala bentuk interaksi dan transaksi ekonomi, dibangun di atas prinsip keadilan, keseimbangan, dan keberkahan. Namun, pertanyaan mendasar muncul, mengapa larangan akad bathil dan riba begitu penting dalam sistem muamalah Islam? Akad bathil merujuk pada perjanjian yang tidak sah dan tidak memiliki nilai hukum dalam Islam, sementara riba merupakan penambahan yang tidak adil dalam transaksi pinjaman atau jual beli. Larangan terhadap akad bathil dan riba merupakan pondasi utama dalam sistem muamalah Islam, karena keduanya memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap individu, masyarakat, dan perekonomian secara keseluruhan. Artikel ini akan menganalisis aspek yuridis dan ekonomi dari larangan tersebut, serta implikasinya terhadap sistem ekonomi Islam.
Aspek Yuridis (Hukum)
Secara yuridis, larangan akad bathil dan riba dilandasi oleh Al-Qur’an. Ayat-ayat seperti surat Al-Baqarah ayat 275 dan surat An-Nisa ayat 161 secara tegas melarang riba, sementara surat Al-Baqarah ayat 188 juga menegaskan larangan akad terhadap akad bathil
Akad bathil dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti:
- Tidak terpenuhinya rukun akad: Setiap akad memiliki rukun yang harus terpenuhi agar sah. Jika salah satu rukun tidak terpenuhi, akad tersebut menjadi bathil. Contohnya, dalam jual beli, rukunnya adalah penjual, pembeli, barang yang dijual, dan ijab qabul (pernyataan jual beli).
- Adanya unsur paksaan atau penipuan: Akad yang dilakukan dengan paksaan atau penipuan juga menjadi bathil. Islam menekankan kerelaan dan kejujuran dalam setiap transaksi.
- Objek transaksi yang haram: Akad yang melibatkan objek transaksi haram, seperti minuman keras, narkoba, atau judi, juga bathil.
Riba, yang berarti “tambahan”, diharamkan karena menimbulkan ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Jenis-jenis riba meliputi:
- Riba al-fadl: Pertukaran barang sejenis dengan takaran yang berbeda (misalnya, menukar 1 gram emas dengan 1,1 gram emas).
- Riba al-nasiah: Penambahan pada pokok pinjaman karena penangguhan pembayaran (misalnya, meminjam Rp1.000.000 dan harus mengembalikan Rp1.100.000 setelah satu bulan).
- Riba al-qardh: Penambahan pokok pinjaman yang disyaratkan kepada peminjam (misalnya, meminjam Rp1.000.000 dan harus mengembalikan Rp1.100.000 tanpa ada jasa bagi yang meminjamkan).
Aspek Ekonomi
Larangan akad bathil dan riba memiliki implikasi ekonomi yang signifikan. Riba, khususnya, dapat menyebabkan:
- Kesenjangan sosial: Riba memperkaya pihak yang meminjamkan dan membebani pihak yang meminjam, memperlebar kesenjangan sosial.
- Kemiskinan: Riba menyebabkan orang miskin terjebak dalam lingkaran hutang dan bunga, memperparah kemiskinan.
- Kerusakan ekonomi: Riba dapat menyebabkan inflasi, ketidakstabilan ekonomi, dan krisis keuangan.
Sebagai alternatif, sistem ekonomi Islam menawarkan model seperti:
- Bagi hasil (profit sharing): Keuntungan dibagi antara pemilik modal dan pengelola usaha sesuai dengan kesepakatan.
- Wakalah (perwakilan): Seseorang diberi kuasa untuk mengelola harta orang lain dengan imbalan yang disepakati.
Kesimpulan
Larangan akad bathil dan riba dalam Islam memiliki dasar hukum yang kuat dan implikasi ekonomi yang penting. Penerapan prinsip-prinsip muamalah Islam dalam transaksi ekonomi dapat menciptakan sistem yang lebih adil, seimbang, dan berkelanjutan. Lembaga keuangan syariah dan para pelaku ekonomi memiliki peran penting dalam mewujudkan ekonomi Islam yang bebas dari riba dan akad bathil, menuju masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan.
Kontributor Artikel : Fitrah Muhammad Akbar
Sumber: https://iaicirebon.ac.id/riba-dalam-perspektif-ekonomi-islam/?need_sec_link=1&sec_link_scene=im